“Lha nek ra sekolah pe opo? Mosok iso mergawe? Ijasah wae ra nduwe?”. Ya, adalah kalimat semacam inilah yang sering saya dengar dari beberapa orang tua kepada anak-anak mereka, atau anak tetangganya. Masalah “ijasah” yang mesti didebat soalkan. Karena yang dipikiran mereka “ijasah” adalah satu-satunya faktor seorang bisa bekerja atau tidak.
Jika
dengan pikiran semacam ini, maka kita sudah mengesampingkan beberapa faktor
yang seharusnya bisa menjadi tolak ukur kemampuan atau paling tidak sebagai
“stempel” bahwa kita siap kerja. Tuhan saja tidak butuh ijazah untuk mengatur
ciptaannya yang jumlahnya sangat banyak. Masa’ iya kita yang masih punya Tuhan
lebih me-Tuhan-kan ijazah dari pada Tuhan kita.
Ijazah
itu tidak selamanya bisa mempekerjakan kita. Sudah banyak bukti yang
mempertegas bahwa “Ijazah itu bukan Tuhan”. Banyak orang yang sukses
dibidangnya dengan cara mereka sendiri, dengan kemampuan mereka, dan dengan
takdir yang mereka yakini. Semua proses memang harus dilalui tapi, janganlah
kita mengesampingkan Tuhan kita dengan lebih mengutamakan Ijazah.
Karena
kita dilahirkan dengan takdir dan nasib masing-masing. Janganlah terlalu
membanggakan ijazah kita, kadang malah ijazah bisa membuat kita semakin malu,
bukan malah menjadi bangga karena tingakatan tinggi atau rendahnya status
ijazah kita. Kenapa saya berkata demikian? Ini karena saya telah berpikir
sebentar menyangkut apa yang dinamakan hukum “dimana ada aksi pasti ada
reaksi”. Jika kita punya ijazah yang tinggi semisal “Sarjana” dan kita tidak
mendapat pekerjaan atau paling tidak kita sudah punya pekerjaan tapi bukan
dibidang yang searah dengan ijazah kita pastilah ada yang “nyemoni”,
Contoh
saja kita ini adalah sarjana pendidikan atau sarjana ekonomi misalnya, lalu
kemudian kita bekerja seadanya sebagai pedagang karena tidak kunjung diterima
di perusahaan yang kita inginkan. Pastilah akan ada orang yang “nyemoni” kita. Biasanya yang paling
dekat adalah tetangga kita pasti akan berkata demikian “nek muk dadi pedagang wae yo ra usah kuliah. Lulus SD yo iso” atau
semacamnya.
Itulah
mengapa saya menegaskan bahwa ijazah itu bukan Tuhan. Karena semua pasti ada
resikonya termasuk ijazah kita. Maka janganlah kita terlalu memanjakan otak
kita dengan berpikir bahwa ijazah akan menolong kita mendapat pekerjaan saat
kita nanti lulus kuliah atau lulus sekolah. Belum tentu Mas Bro Mbak Bro. Semua
itu tergantung dari otak kita, ilmu kita, takdir kita, dan Tuhan kita. Bukan
dari ijazah kita.
Bukannya
saya melarang untuk sekolah, atau kuliah untuk mendapatkan Ijazah. Sekolahlah,
belajarlah, atau kuliahlah, semua itu proses untuk kebahagiaan hidup kita. Yang
saya tegaskan adalah bagaimana kita tidak tergantung dengan Ijazah yang kita
dapat dari sekolah atau dari kampus. Percuma kita diberi bekal kemampuan dari
lahir kalau ujung-ujungnya kita masih tergantung dengan Ijazah.
Ijazah
itu buatan manusia, sedangkan otak kita adalah cipataan Tuhan. Masak otak kita
kalah dengan Ijazah?. Jika kita mau berpikir sejenak sebelum memutuskan dengan
semua yang terjadi, kita pasti akan minimal sadar bahwa semuanya itu belum
tentu benar. Dengan hanya sadar saja kita sudah tahu apa yang benar, dan apa
yang kurang benar. Karena kebenaran itu semata milik Allah sebagai Tuhan
seluruh alam.
Merenunglah
minimal 10 menit dalam harimu tentang masa lalumu, masa kinimu, dan masa
depanmu. Pastilah kamu akan mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan dalam
hidupmu. Jangan meragukan cinta dan kasih sayang Tuhan kepadamu atas segalanya
dengan Ijazah yang belum tentu ada artinya. Ijazah itu bukan Tuhan, dan Tuhan
tidak butuh Ijazah.
Bojonegoro,
6 Desember 2014
Fathoni
0 Respon:
Posting Komentar