Pudarnya “Pesona” Desa



          Indonesia adalah negara yang berada di benua asia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan proklamator kemerdekaan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Indonesia terkenal dengan beragam tradisi, budaya, suku, ras, agama, bahkan sampai rempah-rempahnya. Bahkan negara sekelas Belanda dan Jepang tertarik kepada Indonesia karena kekayaan Indonesia.
          Alam Indonesia pun masih “lumayan” terjaga dengan keberadaan makhluk desa yang masih setia memelihara pohon-pohon untuk kebutuhan hidup mereka. Namun sekarang Indonesia semakin panas dengan beragamnya hal-hal yang membuat Indonesis semakin panas. Cotohnya saja bangunan-bangunan tinggi dengan dipenuhi kaca di smua sisi, kebakaran hutan, penebangan liar, juga termasuk pudarnya “pesona” desa.

          Pudarnya “pesona” desa yang saya maksudkan disini adalah mulai terkikisnya keberadaan “sesuatu” yang asli dari desa. Sesuatu itu semisal permainan anak-anak, gotong royong, keakraban dalam sosialisasi, dlsb. Desa di Indonesia sekarang sedang terjamah virus ke-modern-an, dan ke-gengsi-an yang sedang mewabah di Indonesia. Virus-virus tersebut sudah menyerang perkotaan, dan kini sedang memperluas wilayahnya sampai ke desa.
          Dewasa ini gadget sedang mewabah di Indonesia dengan target semua usia, mulai dari yang dewasa, sampai dengan anak dibawah umur 18+ mulai memainkan gadget masing-masing. Demam gadget ini mulai merambah ke ranah desa yang sedari dulu tidur dalam kepolosan, gotong-royong, sayan (gotong-royong membangun rumah), keramahan, juga dalam senyum sosialisasinya. Contoh dibawah adalah saya ambil sampel dari desa saya sendiri dan desa sekitar yang ada di Tuban.
          Gadget mulai berkembang diantara kerumunan anak-anak yang sedang bermain kelereng bersama teman-teman. Sampai gadget itu menelan habis kelereng mereka, merusak arena permainan biasa mereka gunakan untuk tempat bermain slodor, lompat tali, petak umpet. Anak-anak kecil mulai keranjingan gadget yang menuntut mereka untuk mneghabiskan waktu mereka untuk bermain dengan gadget masing-masing daripada bermain dengan teman-teman sebaya.
          Hal yang nampak dari menularnya virus ini di kalangan anak kecil di desa adalah hilangnya keceriaan “natural” dan senyum kebahagiaan yang melekat pada wajah mereka sedikit demi sedikit memudar. Karena, tertelan oleh fitur-fitur yang disuguhkan oleh ke-modern-an. Desa mulai pudar.
          Ke-modernan lain yang mulai menyerang keadaan desa adalah bangunan, dan kendaraan. Model bangunan masyarakat desa sekarang sudah mengkiblat kearah kota. Struktur bangunan yang menampakkan diri dengan keadaan menjulang tinggi dengan lantainya bisa 2-3 lantai. Cukup mencolok untuk ukuran masyarakat desa. Memang hal ini adalah hak dari masing-masing orang, tapi cukuplah yang mewah tapi tetap sederhana dengan tidak menampakkan sampai harus 2 lantai.
          Masyarakat desa sekrang perlahan-lahan mulai meninggalkan aktifitas sayan yang biasa dulu dilakukan. Hal ini terjadi karena masyarakat desa sudah mulai kezaman batu. Mulai dari batu untuk dibuat fondasi rumah, batu bata, sampai dengan batu batrei. Gotong-royong dalam membangun rumah tetangga sudah mulai menguap, padahal sayan dan gotong-royong adalah nafas desa, nafas Indonessia.
          Sekarang ini tidak ada lagi gemuruh suara gergaji yang menggerogoti kayu-kayu untuk setiap bangunan rumah. Tidak ada lagi suara palu yang selalu digunakan untuk memaku kayu satu dengan yang lain. Semua hal-hal tersbut mulai memudar dan menguap, dan hanya akan diingat oleh sebagian yang hidup di zaman sayan  tersebut masih ada.
          Desa adalah satu bagian dari Indonesia dengan segala kepolosan, ketenangan, keakraban antar sosial, dlsb. Desa pun menyumbangkan beberapa faktor kemajuan Indonesia dengan wilayah agrarisnya yang sebagian besar memanfaatkan tanahnya untuk bertani. Dulu sekali Indonesia menjadi “Macan Asia” dengan beras-nya yang menembus pasar Impor. Ini adalah salah satu semangat makhluk desa yang benar-benar memanfaatkan Indonesia, dan cinta dengan Indonesia. Jikalau saja keadaan desa di Indonesia mulai benar-benar pudar dan bermetamorfosa menjadi kota, entah apa yang akan terjadi dengan Indonesia.
          WaLlahu A’lam ....
          Terserah mau menganggap bahwa tulisan ini sebagai sebuah keprihatinan kepada desa dan Indonesia, refleksi 17 Agustus, atau rasa fanatik karena menjadi salah satu rang desa, atau bahkan mau menganggap bahwa ada rasa ke-iri-an karena tidak punya gadget canggih, atau bangunan rumah yang mewah, atau kendaraan yang bagus. Semua kembali kepada pembaca yang bijaksana.
          Salam hangat untuk semua.

Save Our Village, Save Indonesia”

Tuban, 7 Agustus 2015

0 Respon:

Posting Komentar