Salam sejahtera untukmu ‘Aini. Aku semogakan raga serta pikiranmu dalam kondisi yang bahagia, sampai coretan ini berkunjung ke tanganmu.
Sebenarnya
agak kurang menarik jika mengajakmu berdiskusi lewat surat. Namun apalah daya.
Waktu selalu tak pernah kompromi kalau urusan rindu.
Ya, aku
sedang merindukanmu. Rindu bagaimana ketika malam itu dengan tak pernah
terencana kita bercerita, berdiskusi tentang hal yang sama-sama kita
pertanyakan. Itu saja. Aku merindukanmu.
Sebenarnya
aku ingin bercerita kepadamu. Ini menyangkut temanku yang dengan tiba-tiba
mengajak aku berdiskusi ringan. Ini soal motivasi, minat, organisasi, tujuan
dan lain-lain yang menjalar dengan tidak sengaja.
Aku akan
mulai ceritaku ini dengan cerita curhatannya padaku. Jangan terlalu bernafsu
membaca, aku harap kamu menikmatinya.
“Kemarin…”,
dia memulainya dengan nada yang dibuat seringan mungkin. “…Aku baru saja ikut
sebuah seminar. Pada ketika itu, narasumber memberikan subjektif pikirannya
kepadaku tentang sebuah motivasi. Beliau berkata bahwasanya, motivasi itu ya
dari diri sendiri, bukan dari orang lain atau faktor luar.”
Pause
Apa kamu
setuju dengan teori ini sayang? Apa pendapatmu dengan teori ini, cukup menarik
kan? Secara pribadi, aku bisa setuju bisa juga tidak dengan teori ini. Nanti
saja aku jelaskan. Mari kita lanjutkan ceritanya. Jangan terlalu bernafsu,
nikmatilah dengan napas yang tenang.
“Lantas…”,
dia melanjutkan dengan nada yang tidak jauh beda dengan ketika dia membuka percakapan
denganku. “Aku pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya memuat sebuah cerita
inspirasi dari tokoh-tokoh yang sudah besar karena jejak hidupnya juga dari
karyanya. Contohnya, Bill Gates, yang berhasil membuat sesuatu yang membuat
hidup kita semakin ada pembaruan, Microsoft berhasil merubah hidup beliau. Dan
lain-lain.
Dari
buku tersebut, ada sesuatu yang menarik bagiku. Motivasi itu datang dari faktor
luar, yang bisa berarti orang lain, faktor-faktor lain. Jadi bukan dari diri
sendiri yang memotivasi, tapi justru dari faktor luar tersebut. Ini sungguh
sangat bertolakbelakang dengan yang disampaikan ketika seminar waktu itu.
Bagaimana menurutmu sendiri?”.
Kita pause lagi ceritanya.
Dia
mengakhiri ceritanya dengan pertanyaan untukku, malam itu. Sebelum aku menjawab
pertanyaan dari sahabatku ini, aku harap kamu juga sudah menyiapkan sebuah
jawaban untuk kita diskusikan ketika kita bertemu nanti. Dan aku harap jangan
dulu setuju dengan pendapatku ini. Sekali lagi, aku merindukanmu sayang.
Aku akan
memulainya dengan pengutaraan pendapatku mengenai motivasi yang ditanyakan di
atas.
Menurut
subjektif pribadiku, aku sangat setuju dengan teori dari pemaparan si
narasumber seminar tersebut, namun tidak sepenuhnya. Juga sepakat dengan apa
yang dari buku tersebut, tapi tidak sepenuhnya juga. Benar apa yang dikatakan
beliau si narasumber tersebut, bahwa motivasi itu datang dari dalam diri
sendiri, bukan dari orang atau faktor lain.
Namun,
aku kurang sepakat jika beliau mengabaikan faktor luar sebagai pihak yang tidak
bisa memberikan kontribusi motivasi bagi diri kita. Karena pihak luar atau
orang lain pun masih punya kesempatan untuk “memengaruhi” diri kita. Lewat pengaruh
omongan, tata bahasa agitasi, buah karya, dan lain sebagainya.
Kalau
menurut teori yang aku buat secara dadakan dan tanpa pertimbangan ataupun
landasan teori dari pakar, malam itu.
Motivasi
yang entah dari luar ataupun dari diri sendiri itu sama saja. Bisa saja kamu
artikan sama-sama berpengaruh ataupun sama-sama tidak berpengaruh, itu terserah
padamu sayang.
Hal ini
berkaitan dengan kemampuan manusia yang terbatas dalam hal mengingat, menerima
serta dalam hal memberi. Yang artinya, motivasi sehebat apapun, sebesar apapun,
jika besok dia sudah lupa pun akan sama saja hasilnya. Nil.
Yang
paling penting dari motivasi (masih dari teori subjektifku) itu adalah konsistensi,
komitmen serta komunikasi yang intens. Maksudnya begini sayang, ketika kamu
sudah memutuskan untuk memberikan motivasi kepada seseorang, maka kamu harus
konsisten untuk berkomunikasi dengan intens kepada dia.
Kamu
harus terus melakukan konsistensi memberikan motivasi, suntikan semangat dengan
tempo dan irama yang sama kepadanya. Karena dia pun memiliki keterbatasan. Itu
komitmen yang sudah kamu buat dan harus kamu pertahankan.
Kamu
sepakat dengan teori ini sayang? Aku harap kamu punya pendapat yang lebih
kompleks dan lebih ilmiah dariku. Agar nanti aku punya waktu yang lebih lama
untuk menatap wajahmu ketika kita asyik berdiskusi.
Cerita
di atas hanya awalan dari diskusi kami yang terus menjalar malam itu. Akan
kulanjutkan.
“Kemudian
jika kita tarik dalam organisasi, ini hampir menyangkut diskusi yang kemarin
soal mengetahui tujuan ikut organisasi. Motivasi seseorang ikut organisasi
pastilah macam-macam. Nah, dari macam-macam itu bagaimana menyatukan agar
sampai pada tujuan organisasi tersebut”
Kembali sebuah pertanyaan untukku sayang. Sebenarnya
aku tidak merasa pantas untuk menjawab hal ini, namun ini hanya aku
satu-satunya yang diberi pertanyaan, dan demi keberlangsungan diskusi, akhirnya
aku harus menjawab.
“Seperti yang dijelaskan kemarin. Kita bisa melakukan
lewat komunikasi personal to personal,
kemudian personal to communal, communal to communal, communal to personal. Namun itu pun
tergantung bagaimana kamu menjaga intensitas volume dan nada dalam komunikasi,
komitmen untuk tetap memotivasi, serta konsisten.
“Sedikit gambarannya, aku sudah pernah melakukan teori
ini. Komunikasi personal to personal
atau antar personal sudah aku lakukan secara private. Artinya aku melakukan ini dengan tujuan yang hanya aku
sendiri yang tahu, mereka hanya harus menjawab.
“Aku mencoba melakukan itu pada teman sekelas yang
juga satu organisasi. Kita ngobrol
sebentar kemudian aku singggungkan dengan kegiatan untuk organisasi. Seketika
itu, dia menjawab setuju dengan penuh semangat. Namun beberapa hari setelah
obrolan itu, nada semangat yang ia tunjukkan perlahan redup, bahkan hampir
gelap. Itu pertama.
“Lantas aku mencoba dengan yang lain yang masih satu
kelas dan satu organisasi. Hampir sama dengan yang pertama, ia pun begitu
semangat dengan beberapa ide dan gagasan yang menurutku cukup bagus. Kemudian
redup dan hampir gelap.
“Itu antar personal. Jika menurut sub-teori yang
kedua; personal to communal juga
sudah pernah. Hasilnya, tidak ada suara, tidak ada gagasan secara gamblang.
Hanya diam. Itu kendala dari sub-teori yang kedua. Jadi, menurutku motivasi itu
bisa masuk, hadir, mempengaruhi itu jika si orang tersebut sadar secara mandiri
atau tersadarkan”
Bagaimana pendapatmu sayang? Kamu pun ikut setuju? Aku
harap tidak, karena aku menuggu jawabanmu yang menggunakan retorika yang
menawan. Aku akan melanjutkan lagi ceritaku dengan sebuah teori yang malam itu
aku lupa dan baru akhir-akhir ini aku ingat pencetusnya, adalah Sigmund Freud.
Dengan penjelasan ala kadarnya.
“Tingkat kesadaran manusia itu dibagi menjadi tiga,
kalau tidak salah ini teori yang aku dapat dari mata kuliah pengantar
manajemen. Yaitu; Ego, Superego dan Id. Jadi, Ego adalah tingkat kesadaran
manusia paling tinggi. Artinya pada tingkat ini, manusia bisa mengendalikan
kesadaran maupun pikiran secara bebas atau sesuka hati.
“Nah, ketika sudah pada titik ini, aku yakin sekecil
apapun motivasi yang masuk, yang datang akan sangat berpengaruh terhadap
aktualisasi dirinya”
Bagaimana sayang? Aku harap kopimu tak cukup pahit
untuk sampai mempengaruhi otakmu untuk ikut meraskan pahit karena membaca
tulisan ini. Dan aku harap juga, kamu sudah menyiapkan beberapa catatan
argumenmu untuk “membunuh” argumenku.
Aku akan sangat menunggu itu, karena aku merindukanmu.
Mungkin cukup untuk ini, karena dia pun sudah setuju
dengan penjelasan teori yang keburikan, walapun ala kadarya. Akan kubagi
kepadamu pertanyaan yang tak bisa kujawab, teori-teori, atau mungkin hal-hal
yang membuatku terus bertanya, suatu nanti.
Lain kali akan kubagi tulisanku yang lain. Mungkin
dari buku-buku yang pernah aku baca.
Salam sayang.
‘Aini | ….
Tuban, 7 April 2017. Ketika malam itu, angin membawa
rindu padaku dan beberapa rona wangi yang selalu ku identikan dengan wangimu.
0 Respon:
Posting Komentar