Moksa



Hai Moksa...
Kenapa kau ini?
Siapa kau ini?
Atau apa kau ini?

Kenapa setiap pena dan otakku satu kau sulit ku ciptakan
Kenapa kau sulit ku tulis
Padahal ingin sekali aku menciptakan dirimu
Menghidupkan dirimu

Moksa...
Moksa Nirvana
Akulah Tuhanmu
Yang akan menciptakan hadirnya dirimu

Akulah Malaikatmu
Yang akan selalu melindungi langkahmu
Akulah Wisnu-mu
Yang akan selalu membuat kau tersenyum

Moksa...
Hadirlah...
Hiduplah...
Bernapaslah...



Moksa
            Heemmm, entah dari mana aku harus menulisnya. Semua masih terasa dalam pikiran, belum ada yang berpijak jelas. Hanya Moksa. Hanya Moksa Nirvana. Judul cerita yang ingin sekali aku menulisnya, ingin ku ceritakan, dan ingin aku bagikan kepada semua. Kepada teman-temanku, sahabat Waskita, sahabat PMII, dan sahabat C-Media-ku, juga kepada kelurga yang selalu bersemayan dalam hati dan akalku.
            Semua gambaran yang dulu pernah keluar kini mulai redu lagi gara-gara Moksa. Gara-gara Moksa Nirvana aku “dipaksa” kerja keras dalam otakku untuk ikut turut serta menyimak ceritanya. Padahal aku bukanlah seorang “pendongeng”, aku hanya seorang pengagum sastra, aku lebih menikmati peranku sebagai penulis puisi dalam dunia mimpiku sendiri.
            Tapi kini Moksa mulai memaksaku untuk ikut dalam hidupnya. Kehidupan yang aku tak tahu dari harus mulai dari mana. Moksa. Semoga aku bisa terus melihat jalan hidupmu, menasihati setiap langkah yang akan membuatmu sedih, karena aku sama sekali tidak akan tega melihat matamu meneteskan air mata itu.

Aku seperti lahir kembali
Lahir di tengah-tengah kehidupan ceritaku
Moksa mengajakku
Untuk sekedar minum kopi

            Moksa. Adalah gadis sederhana yang sudah mulai tumbuh dalam dunia yang aku bangun. Dengan wajah khas “Jawa” yang teduh, namun tetap memberi efek keanggunannya. Senyum yang selalu bisa membuat semua orang merasa nyaman tanpa masalah saat di dekatnya. Pun dengan aku yang selalu ingin dekat dengannya. Moksa.
            Aku jamin tidak akan menolak jika dia tersenyum, semua pasti akan merasa nyaman. Entah itu tua muda, lelaki perempuan, dewasa dan childhood pasti akan merasa ingin selalu menatap Moksa dan ikut tersenyum dengannya. Mungkin juga ada seorang yang sudah mulai melirik Moksa sebagai gadis yang mulai besar dengan paras dewasanya.
* * *
            Malam ini. Saat bulan dengan tubuh merah setelah sebelumnya bergulat sengit sang Gerhana. Bulan Nampak kelelahan dengan badan penuh luka. Tanggal berapa sekarang? Hari apa sekarang? Entahlah. Si penulis pun tidak tahu. Yang jelas hanya Bulan itu sedang lemas dengan beberapa tenaga yang dimilikinya.
            Nong-Ji-Nong-Ro. Ketukan gamelan oleh Kang Marmoyo khas negeri Java menggulingkan beberapa mata yang sedang menikmati kemenagan Bulan atas Gerhana. Tabuhan Genong yang lembut itu mulai kembali disaksikan para sepasang mata dengan kemegahan pementasan wayang kulit. Dalang Ranto Gudhel yang hapal dalam pewayangan memainkan lakon “Mahabarata” yang terkenal dengan “Pendowo Limo” dan tokoh Sengkuni dengan segala keunikannya.
            Sengkuni leda-lede
            Mimpin baris ngarep dewe
            Eh, barisane menggok
            Sengkuni kok malah ndeprok
            Nong Ji Nong Ro-

            Lekuk tangan Ranti Gudhel dengan menggeloyor santai menyuruh para wayangnya untuk terus memberi tontonan yang menarik kepada seluruh penonton yang sedang menyaksikan Mahabata-nya dengan judul “Pendowo vs. Kurowo”. Genong Marmoyo yang lembut menambah keindahan tari para wayang kulit.
            Ranto Gudhel sang dalang wayang tersebut bercerita adegan di Padang Kurustra. Perang Bharatayudha sedang terjadi antar kedua saudara sepupu. Perang tersebut terjadi karena para Kurawa tidak mau memberi bebrapa petak tanah hak Pandawa  kembali pada Pandawa. Setelah melalu adegan negoisasi yang alot, akhirnya Kurawa yang disetubuhi oleh Sengkuni mulai menantang para Pandawa untuk berperang merebut Kerajaan Hastinapura.
            Akhirnya kang Marmoyo pun mulai menabuh genong dengan irama yang keras dan Ranto Gudhel pun mulai meniupkan terompet tanda perang Bharatayudha akan segera berlangsung. Para para penonton mulai ikut beersimbah peluh dan keringat, seakan ikut merasakan atmosfer panas di Padang Kurusetra. Empu Walmiki dan Empu Byasa hanya tersenyum melihat para penonton yang antusias. Pun dengan Sujiwo Tejo yang ikut gembira dengan adegan itu sambil ngomong “Jancok tenan dalange”.
            Di sela perang perang Bharatayudha sayup-sayup Sujiwo mendengar sebuah isak tangis yang bayi yang sepertinya baru lahir. Sujiwo mulai men-ndhoyong-kan badan dan penasaran suara bayi siapa gerangan itu? Sekedar senyum, Sujiwo pun mulai berjalan kearah suara tangis yang dirasanya adalah suara bayi.
            “Gusti, mbregeg ugeg-ugeg” Sujiwo tersentak kaget dalam hati dengan meniru latahnya empu Semar. Ternyata apa yang didengarnya benar, itu adlah suara anak bayi yang baru saja lahir.
            “Sayangku, bangunlah. Ada apa denganmu? Terdengar suara lelaki sedang mencoba membangunkan sang istrinya.
            “Istriku, bangunlah sayang. Anak kita sudah lahir, apa kau tidak ingin melihatnya sebentar?. Lihatlah, betapa sangat cantuknya ia, persis seperti apa yang kau harapkan sayang.
            Sujiwo hanya memandang dari kejauhan jendela rumah dengan senyum haru saat melihat si suami yang sangat sabar dengan kehilangan istrinya. “Lelaki yang hebat” pikir Sujiwo dengan masih terus melihat.
            “Bahagialah dirimu di Sorga sayang. Pergi dengan senyum. Sampaikan salamku pada Tuhanmu dan pada Dewa-Dewa di atas Mahameru. Akan ku besarkan anak kita ini dulu, mendewasakannya, lalu aku akan menyusulmu ke Sorga”. Si suami nampak meenitikan air mata seraya mencium kening sang istri untuk terakhir kali. Lelaki itu sepertinya sudah mulai rela dan ikhlas dengan kenyataan bahwa sang Istri sudah pulang lebih dulu.
            Sujiwo yang masih melihat dari kejauhan ikut menitikan beberapa air mata. Tapi Sujiwo merasa ada yang aneh , kenapa si bayi itu tidak menangis? Kenapa? Apa yang terjadi. Dengan langkah agak gugup, Sujiwo perlahan mencoba ingin mendekati rumah dan lelaki tersebut. Tapi bebrapa langkah di depan, langkahnya terputus mendadak.
            “Anakku sayang. Akhirnya engkau lahir juga nak. Bagaimana perjalannamu sebelum sampai ke dunia yang dongeng ini nak?. Tentulah sangat menyenangakan ya sayang. Setiap hari bisa bercengkrama dan bertemu Tuhanmu. Tapi janganlah kau sedih, kau hanya akan terpisah sesaat saja. Tuhanmu tidak akan meningglakanmu begitu saja di dunia dongeng ini. Dia pasti akan selalu menjagamu dari kejauhan jarak dan kedekatan hatimu.
            “Oh iya, apa kau sudah bertemu ibumu saat berjalan kesini? Ibumu sudah bertemu Tuhannya nak, pasti ibumu sekarang dengan senyum bahagia menatapmu lahir dengan keadaan yang sehat dan cantik”
            Si suami itu terlihat sedang mencoba menenangkan pikirannya saat ia memandang anak bayinya dan mencoba sedikit jengkeran walau tak ada respon dari sang bayi. Bayi itu masih kukuh diam. Tak bergerak, tak menangis. Sujiwo masih bingung dengan keadaan bayi itu, “apakah bayi itu sudah menyusul ibunya?” Sujiwo penasaran.
            Si bapak masih menimang-nimang anak banyinya sambil sesekali air matanya turun untuk ikut membelai anak gadis itu.
            “Kau ingin nama apa nak? Bapakmu punya beberapa nama yang cocok untukmu nduk. Hawa, Husna, atau Kirana? Semua tergantung kau pilih yang mana. Semua terserah padamu, karena itu adalah namamu, bapakmu tidak berhak untuk menentukannya”.
            Sang bayi tetap meneng tidak menangis. Sujiwo semakin bingung dengan keadaan ini. “apa gerangan yang harus aku lakukan?” Sujiwo berpikir keras. Sang bapak pun ikut khawatir dengan keadaan bayi perempuannya ini.
            “Katakanlah pada bapak bayi itu, berilah nama Moksa, Moksa Nirvana. Katakan bahwa aku adalah Penulisnya. Akulah penjabar hidupnya. Namaku adalah Java. Akulah yang akan menuliskan kisah hidup Moksa”.
             Sujiwo berpikir sejenak untuk mencerna kata-kata yang Aku katakan padanya. Seakan dia tak percaya dengan apa yang didengarnya. Langkah per langkah sujiwo mulai mendekati pintu rumah itu untuk berbicara pada sang Bapak bayi itu.
            “Berilah bayi itu dengan nama Moksa Nirvana”.
            “Siapa engkau wahai seorang di depan pintu? Kenapa dengan nama itu?”.
            “Aku adalah Sujiwo. Aku tak sengaja mendengar tangisan bayimu, lalu aku mendekat kemari. Nama itu adalah pemberian si penulis cerita di dunia dongeng ini. penulis itu menamai dirinya dengan nama Java”.
            Si bapak seakan berpikir. Lalu matanya ndoyong kearah si bayi seraya membisikan nama yang diusulkan Sujiwo.
            “Bagaimana kalau namamu Moksa Nirvana nduk?. Itu nama yang cukup indah untukmu nduk.
            Entah senang atau apa, sang bayi pun perlahan mulai membuka mulutnya, seperti hendak menguap. Tapi tiba-tiba sang bayi mulai menangis. Sujiwo dan sang bapak pun mulai senang dengan keadaan ini. sang bapak dengan tanpa malu-malu mengguyurkan air mata seakan tidak malu jika dilihat anak-anak dan diejek Gembeng.
            “Haha ...” sang bapak dengan air matanya mencoba tetap tegar. “Kamu suka nduk? Sekarang namamu adalah Moksa Nirvana nduk. Semoga namamu menjadi doa kepada ibumu untuk selalu do Sorga Tuhannya. Karena di namamu ada nama ibumu. Nirvana”.
            Sujiwo yang tadi sebentar ikut menitikan air mata mulia beranjak pergi dari kediaman bapak sang bayi. Dengan beberapa bekas air mata. Sujiwo merasa ikut senang dengan kelahiran Moksa, dan ia berharap semoga masih bisa bertemu dengan Moksa. Di suatu massa nanti.
            Moksa lahir
            Moksa telah lahir
            Dari bulan yang memerah
            Dari gerhana yang memerah

            Moksa terdiam mulai menangis
            Moksa menangis mulai terkekeh
            Riuh tawa dalam alunan Nong Ji Nong Ro
            Ranto Gudhel dan Kang Marmoyo masih dengan wayangnya
           
            Akhirnya Moksa kecil pun lahir juga. Setelah bebrapa minggu aku menunggu gelak tangismu. Seperti bapakmu, aku juga ikut senang dengan lahirnya dirimu. Semoga kau senang dengan nama yang aku berikan untukmu. Moksa Nirvana.
            Semoga di suatu saaat nanti kita bisa berjumpa antara penulis dan idola. Kubayangkan kau pasti akan secantik ibumu. Karena aku pernah bertemu dan pernah sedetik menaruh rasa sebelum ia memilih bapakmu untuk dijadikan kunci Sorganya.



0 Respon:

Posting Komentar