Malam Itu ...

Malam itu, entah tanggal berapa aku sedikit lupa untuk mengingatnya. Namun, aku ingat saat itu bulan bersinar dengan penuh wibawa meneggelamkan gemuruh awan dalam balutan purnamanya, malam itu malam purnama tanggal 15 tahun Hijriyah. Dalam purnamanya malam itu aku sedang menikmati beberapa tulisan sebuah majalah tipis kecil yang dicetak beberapa tahun yang lalu dengan sampul elegan, klasik, sedikit redup dengan warna kuning keemasan. Majalah itu dibalut plaster plastik bening dengan alur horizontal yang memenuhi semua halaman sampul depan sampai sampul belakang yang berwarna putih dengan beberapa tulisan ucapan selamat dan alamat Markaz. Aku nikmati satu persatu tulisan yang ada di dalam majalah tersebut. Mulai dari esay, cerpen, puisi, humor, sampai pada profil tokoh seorang kiyai asal Rembang Jawa Tengah. Majalah itu berjudul Waskita.
          Masih pada malam yang sama setelah aku membaca majalah tersebut, aku menelusupkan pikiranku, berkeliaran mencari celah untuk membuka kembali sepenggal demi sepenggal kejadian yang pernah terjadi berkaitan dengan Waskita. Entah mulai tanggal berapa aku meninggalkan ruangan kecil berbentuk kotak persegi dengan cat luar berwarna hijau muda sedangkan warna dalam ruangan tersebut berwarna putih dengan sedikit pudar disana-sini, juga bergaris-garis bekas rumah rayap yang meninggi merayap pada kulit tembok yang bercat putih itu. Aku sudah lupa tanggal berapa, bulan berapa, dan tahun berapa.
          Yang masih aku ingat adalah beberapa kenangan kejadian ketika aku masih sering mengunjungi bangunan berbentuk persegi tersebut. Kenangan mulai dari sekedar main komputer bareng, tidur bareng, nonton film “Punk in Love”, main “Plant and Zombie”, sampai begadang untuk main Pro Evolution Soccer (PES). Semua sudah begitu lama, keadaan pun mulai berubah. Satu dengan yang lain sudah di renggangkan jarak dan waktu untuk sekedar berbagi cerita, berbagi masukan, dan berbagi tawa.
          Aku bahkan tak ingat bagaimana awal aku mulai masuk komunitas yang berada di depan pondok pesantren kecil di desa Kedungjambe bernama Ma’had Al-Ibadah Kedungjambe. Yang teringat pada malam itu hanya para penghuni pondok yang saat itu ikut masuk ke dalam Komunitas kecil yang ingin terus berkembang dan menjadi besar tersebut. Mereka di antaranya ada Mahfudz, Billy, Faisal, Hady, Irfan, Umar.
          Mereka para santri yang mukim rata-rata sudah lulus sekolah tingkat menengah (SMP) disokolah formal, namun diantara mereka pun ada yang sedang menempuh pendidikan jenjang atas di formal, ada juga yang sudah lulus SMA.¾¾
          Waskita ¾
          Saat itu, sekitar tahun 2010 menjelang tahun pelajaran baru aku mendapatkan sebuah kertas dari bapakku yang ternyata adalah formulir Waskita. Pada awalnya aku sempat ditawari oleh orang tua setelah lulus Mts (setingkat SMP) untuk meneruskan disekolah Negeri yang ada di Kecamatanku, namun aku menolak dengan pilihan aku memilih untuk ikut ke dalam Waskita. Ketika mendengar pilihanku tersebut mereka sempat bertanya “Waskita kui opo?”, lantas aku menjelaskan kepada mereka dengan sepengetahuan aku mengenai Waskita. kemudian tidak ada respon dari kedua orang tua, dan aku menganggap bahwa pilihan ku pun tidak direstui. Tapi, setelah beberapa hari kemudian anggapanku pudar dengan datangya formulir tersebut.
          Mulai saat itu aku merasa bahwa sebentar lagi akau akan ikut bergabung teman-temanku yang ada di pondok yang sudah resmi daftar di Waskita. Waskita adalah lembaga pendidikan yang lahir pada pertengahan 2010 dengan rencana menggunakan kurikulum seperti SMK dengan beberapa materi aplikatif dan beberapa sponsor besar siap menggandeng dan mengiringi perjalanan Waskita.
          Pada awal berjalannya kami disuguhkan dengan materi-materi pelajaran yang seperti dengan sekolah-sekolah formal lain, diantaranya adalah Bahasa Inggris, Matematika, serta Ilmu Otomotif Motor dan Mobil. Bertempat sementara di mushola pondok ¾saat itu memang belum punya gedung ¾ semua materi diberikan oleh pembimbing yang ahli di bidangnya.
          Gedung itu berdiri selama proses belajar kami berlangsung, di waktu pagi kami belajar materi pelajaran, dan siang sampai sore kami semua ikut membantu proses pembangunan bangunan kecil berbentuk persegi tersebut. Semua ikut terlibat tak terkecuali para penggagas Waskita.
          Dari awal kemunculannya Waskita berencana membatasi masuknya anak dengan jumlah 12 anak, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengontrolan setiap masing-masing anak. Namun, pada akhirnya angka 12 itu menggelembung menjadi 17 anak yang mereka adalah aku sendiri, kemudian Rudi, Saiful Huda, M. Atho’urrohman, M. Ainun Najib, M. Sajidin, Thomis Fitan (Tomy), Ahmad Yusuf Tamami (Moti), Arip, Abdullah Habib, Umar, Irfan, Ridlouan (Ridwan), Mahfudz Wahyu Diansah, M. Nur Hadi, M. Faisal, Billi Dimastiono. Dengan 17 anak ini kami belajar dengan semestinya. Bahkan, sewaktu sekolah formal mengadakan semesteran, kami pun ikut dengan nilai yang sangat memuaskan dalam raport kami masing-masing.

          Komunitas Belajar Waskita ¾
          Namun setelah itu muncul sebuah gagasan baru tentang sistem yang akan digunakan oleh Waskita, sampai kemudian lahirlah sebuah nama Komunitas Belajar Waskita Islamiyah dengan pengubahan dari sistem seperti SMK samapi mengacukan orientasi pada Sekolah Alternatif Qoryah Thoyyibah Kalibening, Tingkir, Salatiga. Dan para penggagas wacana ini adalah Ust. Mahsun Maftuhin selaku pengasuh pondok pesantren (nDalem Ksatrian) Al-Ibadah, Bapak Ilyas Wahab anggota DPRD tahun 2004 dari FKB. Kemudian kami memulai segalanya dari sini.
          Semenjak nama kami berganti kami berusaha secara mandiri untuk “menyontek” apa yang harus kami terapkan demi kelangsungan eksistensi Waskita kedepan. Kunjungan pertama kami disana sangat singkat sekali sehingga kami measa kurang puas disana. Kami berangakat tepat jam sepuluh malam, dengan perjalanan yang melelahkan kami tiba di Salatiga pada pukul tujuh pagi. Dari sana kami sedikit belajar tentang Qoryah Thoyyibah mengenai cara pengumpulan karya setiap seminggu sekali untuk dijadikan sebuah buku sederhana.
          Dari perjalanan singkat sehari tersebut kami mulai menerapkan pengumpulan karya setiap seminggu sekali untuk kita bukukan, entah itu tulisan curhatan, lirik lagu, sebuah gambar, atau pun yang lain. Kami tidak membatasi pikiran seseorang diantara kami untuk menetapkan kewajiban harus setor ini atau itu. Semua kembali pada diri kami masing-masing. Terserah.
          Keadaan ini tak berlangsung lama karena diantara kami sudah mulai bingung, apa yang harus disetorkan lagi. Perasaan monoton mulai kami rasakan saat itu, sampai beberapa diantara kami mulai jarang terlihat di Markaz Waskita. malah pada saat itu ada beberapa anak sudah mulai meninggalkan Waskita demi memenuhi tuntutan orang tua mereka masing-masing yang ingin anak mereka sekolah normal seperti anak pada umumnya sampai menyisakan 9 anak.
          Kunjungan kami yang kedua ke Qoryah Thoyyibah pada terlaksana pada bulan Mei 2011 dengan tema “Silaturrahim & Ngangsu Kaweruh”. Namun, pada kunjungan yang kedua ini kami hanya berawak 6 orang anak dengan ketambahan satu orang anak dari saudara salah satu dari kami. Selama tanggal 17-19 Mei kami disana ikut berpartisipasi dalam kagiatan yang dilakukan oleh anak-anak disana.
          Setelah kepulangan kami waktu itu kami mulai kembali menerapkan apa yang kami saksikan, dan apa yang kami ikuti selama berada disana. Kali ini bukan pengumpulan tulisan seperti pada kunjungan pertama, kali ini kami lebih mengacu pada karya dan tanggungjawab.
          Kami semua mewajibkan untuk membuat sebuah tulisan kamudian harus dipertanggungjawabkan dengan cara menyajikan di depan masing-masing dari kami. Kami menerapkan konsep ini dengan berpindah-pindah tempat, tempat yang pertama kami mulai di pinggiran sawah, kemudian lanjut pada pertemuan kedua kami sepakat berada di sebuah Pos Kamling.
          Perjalanan kami dengan konsep ini pun tidak berlangsung lama, karena faktor waktu, perasaan, dan hal lain yang memaksa kami tidak menjalankan aktifitas ini lagi. Sampai pada kami berencana membuat sebuah majalah pada suatu pertemuan di pagi hari yang sangat cerah karena sinar matahari dengan anggun memasuki gedung Markaz Waskita lewat sela-sela kaca pintu dan jendela.
          Ilyas Wahab adalah satu satu pengajar dan pembimbing kami para anggota Waskita dari zaman “Jahiliyyah” ketika masih menggunakan sistem sekolah formal, sampai ketika Waskita sudah merubah konsep dirinya menjadi Komunitas Belajar. Beliau ini dulu mengajarkan kami Bahasa Inggris, namun setelah bergantinya Waskita menjadi Komunitas Belajar beliau mulai mendampingi dan membimbing bukan lagi mengajarkan Bahasa Inggris.
          Di pagi hari itu saat kami berencana membuat sebuah majalah, kami mulai mengeposkan bagian-bagian kami masing-masing. Ada yang bagian cerita, humor, tulisan esay, berita, dan aku mendapatkan bagian puisi. Dari sinilah aku mulai berkenalan dengan sebuah bait, sajak, larik dalam dunia syair puisi. Karena masing-masing dari kami dituntut tanggungjawab dengan bagian kami masing-masing.

          Master of Love Poetry ¾
          Mulai pagi hari itu, aku mencoba mencari puisi dari internet untuk aku setorkan kepada yang lain, karena aku waktu itu tidak bisa sama sekali membuat puisi. Satu persatu puisi yang aku dapat dari internet aku tulis ulang untuk aku setorkan wakti itu. Ada empat puisi yang sudah siap aku kirimkan kepada anak yang lain untuk diformat kedalam majalah. Pada puisi kelima aku mencoba membuat puisiku sendiri. Secara otodidak aku mencoba mengoret-oret buku dengan beberapa goresan alfabet untuk aku rancang sebagai puisi. Dan hasilnya aku bisa membuat puisi untuk pertama kali dalam hidupku. Waktu itu.
          Mulai saat itu, aku mulai menekuni dunia puisiku sendiri dengan terus menulis puisi dengan tema cinta. Karena, memang dari awal belajar puisi yang aku tulis adalah sebuah puisi bertema cinta. Cinta seorang kekasih kepada kekasihnya. Semua bertema cinta, selalu cinta. Dan sampai sadar dan terasa puisi yang aku tulis dengan tema cinta tersebut ada satu buku lebih buku tulis normal.
          Pada puisi selanjutkan aku mulai merubah orientasi tema dengan menjadikan tema cinta dua orang sejoli menjadi sebuah tema cinta yang universal. Cinta antara dua insan anak Adam, cinta kepada sahabat, cinta kepada orang tua, sampai kepada Tuhan semesta alam. Cinta yang universal.
          Kemudian dari berlatar belakang inilah kata “Master of Love Poetry” disematkan kepadaku dengan sangat tololnya. Gelar yang sangat dilebih-lebihkan oleh para sahabat Waskita kepadakau. Padahal ada dari seorang sahabatku yang lebih mahir dalam membuat puisi bertema cinta.

Buku ¾
          Setelah beberapa  bulan setelah kata “Master of Love Poetry” disematkan dengan bodohnya, aku, Mahfudz, Moti, HQ (Baihaqqi) mencoba membuat sebuah buku antologi buku kami yang pertama. Proses ini tidaklah mudah kami lakukan dengan segala keterbatasan kami dalam segi materi, peralatan, jaringan, dlsb.
          Buku antologi puisi kami saat itu entah berjudul apa, aku hampir tidak bisa mengingatnya selain warna sampul depan hitam dengan gradasi merah. Buku tersebut tercetak bukan dengan mesin cetak yang semestinya, tidak pula ada ISBN seperti pada buku-buku yang lain. Buku kami tercetak dengan cara sederhana, kami menge-print halamn demi halaman yang sudah kami tata sehingga akhir print nanti akan berbentuk seperti buku pada layaknya.
          Buku antologi puisi kami hanya kami cetak untuk kalangan kami sendiri, hanya untuk bacaan dan kami pajang di sela-sela buku yang bertumpuk dan berjajar rapi di rak buku di salam gedung Markaz Waskita. Dan sekarang entah kemana file-file berisi kumpulan puisi kami. Setelah aku bersama ketiga temanku “mencetak” buku antologi tersebut, aku tak pernah sekali melihatnya kembali selain ketika pertama kali tercetak.
          Setelah saat itu aku mulai tak henti menulis puisi dengan beberapa perkembangan yang aku tulis pada puisi-puisiku, masih dengan tema cinta, kadang-kadang pun aku menulis puisi untuk beberapa sahabatku. Sementara aku menulis puisiku sendiri di rumah sederhana setiap pagi, siang, kadang juga malam hari, Mahfudz, Moti, dan HQ kembali beraksi dengan buku-buku yang ingin di cetak lagi dengan cara kami. Print out.
          Ya semuanya berjalan dengan normal dan seperti biasanya, ketika yang lain sibuk dengan print out  buku, yang lain masinh sering kumpul-kumpul untuk sekedar bertukar cerita, bertukar tawa, bahkan berbagi perasaan. Semuanya begitu indah dengan segala kesederhanaan yang membuat kami semakin mencintai Waskita.

          LoVE
          Waskita mengajarkan kami bahwa hidup itu sederhana, pilihlah sebuah pilihan kemudian konsistenlah dengan pilihan itu. Walau nantinya kami harus berubah pilihan bukan karena kami tak konsisten, tapi kami memilih sebuah pilihan yang baru untuk hidup kami. Dan Waskita tetap menjadi sebuah cinta sederhana diantara benak kami. Cinta yang sederhana.
          Cinta yang terus membuatku menulis puisi sampai saat aku mulai merasa menyukai seseorang, menyukai dari jauh, mengagumi tanpa pernah terbesit untuk memiliki. Perasaan itulah yang kemudian dulu membuatku menulis sebuah puisi cinta, cintaku yang mengaguminya. Hanya sekedar mengagumi.
          Dia sedang menempuh jenjang pendidikan atas di sekolah formal berlabel Islamiyah. Namanya Vera Wahyuni. Tapi, aku lebih suka memanggilnya dengan VE. Itu sudah cukup (bagiku) untuk mewakili segala nama yang ada padanya. Nama yang sederhana.
          Aku mengenalnya ketika dia masih kelas satu (tingkatan formal). Secara tidak sengaja di suatu sore yang mulai menjingga aku mendengar namanya yang diteriakkan oleh salah seorang temanku. Mulai saat itu aku mulai sering senang “nyangkruk” dengan teman-temanku sewaktu siang, dan sore hari. Karena dia berangkat sekolah sekitaran jam 12.15 sampai 12.30-an, dan pulang sekitar jam 17.10 atau jam 5 sore. Saat itulah aku menggunakan kesempatan dengan teman-temanku untuk melihat dan mengaguminya. Lewat pandangan mataku.
          Hari demi hari berjalan dengan biasanya, dengan kegiatanku yang setiap siang selalu meluncur ke Markaz Waskita untuk sekedar bermain komputer dan nonoton film. Biasanya sebelum aku meluncur ke Waskita, aku sempatkan diriku untuk “nyangkruk” sebentar untuk melihat Vera. Sekali lagi hanya mengagumi.
          Sampai pada suatu ketika aku mulai tertarik untuk mendapatkan nomornya dari seorang teman. Sebenarnya sudah lama sekali aku ditawari nomor pemilik sepedah merah ini, namun karena malasnya saya sering menolak walaupun sering mereka meminjam hape saya untuk dimasuki nomor si doi. Ketika aku mulai iseng meng-sms dia dengan “Assalamu’alaikum”, kemudian berlanjut dengan aku memperkenalkan namaku Fathoni.
          Dengan saat itu juga aku mendapatkan balasan yang cukup membuat saya kaget. Sms-nya adalah seperti ini “Nomer kok gonta-ganti, koyo Teroris wae” (Nomor kok ganti-ganti, kaya Teroris aja). Siapa yang tidak kaget dengan balasan sms yang seperti ini padahal baru pertama kali sms. Cukup membuat saya kaget seketika waktu itu.
          Dan ternyata setelah aku bertanya tentang maksudnya menuduhku dengan seperti “Teroris” adalah sebelumnya sudah ada anak yang berkenalan dengan dia dengan namaku. Bukan sok PD dengan beranggapan tidak adanya kesamaan nama, tapi karena setelah aku bertanya nomornya, aku cek dan ternyata itu adalah nomor sepupu dan salah satu temanku yang sering meng-guyoni aku dengan dirinya.
          Saat itu saya merasa dibodohi oleh teman-temanku sendiri. Sangat menjengkelkan namun juga menguntungkan, karena dengan begitu aku punya beberapa topik pembahasan untuk aku meng-sms dia. Dan karena itulah aku mulai lumayan dekat dengan dirinya, dengan beberapa kali dia mencurhatkan kisah cinta yang sedang dilakoni dengan beberapa cowok yang aku kenal siap itu.
          Ketika temanku ada yang sudah mulai kembali sekolah karena dulu sempat mbolos karena sakit yang lumayan parah, akhirnya aku mulai  jarang “nyangkruk” untuk melihat si sepedah merah pulang. Aku lebih sering menghabiskan waktu soreku dengan membaca beberapa buku di depan rumah sambil sesekali kuhantarkan pandanganku ke arahnya yang sedang mengayuh sepedah untuk pulang di sore yang selalu menyuguhkan suasana dan pemandangan yang mengagumkan bagiku.
          Sampai pada sore-sore yang berikutnya aku masih berkutat dengan bacaan buku ku “Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia” karya Michael Hart. Aku mengaburkan pandanganku kearah jalan raya untuk menengok apakah dia sudah pulang atau belum. Kemudian aku merasa kaget dengan tiba-tiba pandangannya ikut memandangku dari jalan. “Dia melihatku” pikirku saat itu dengan kebingungan yang tiba-tiba.
          Aku merasa ada yang aneh saat itu dengan dirinya, tidak ada alasan baginya untuk melihat kearah rumahku. Pertama adalah dia tidak tahu rumahku, yang kedua dia belum tahu wujudku. Dan mulai saat itu aku merasa ada yang salah dengan dirinya. “Dari mana dia tahu rumahku?” pikirku ketika itu.
          Pada sore-sore berikutnya dia kembali dengan pandangan yang mengarah ke rumahku, atau mungkin lebih tepatnya mengarah padaku. Menolehkan pandangan dengan wajah dibalut kerudung putih sekolahnya. Suatu saat dengan iseng sekali aku sengaja tidak membaca buku di depan rumah, melainkan di dalam rumah dengan masih terus melihat ke arah jalan raya menanti dia pulang sekolah. Dan benar sekali ketika itu dia masih tetap saja menengok kearah rumahku. “Apa yang sedang dipikirkannya?”. Mulai saat itu aku lebih sering menghabiskan waktu soreku membaca buku di depan rumah sambil melihat dia pulang sekolah. Kubuka bukuku sambil terus melihatnya berlalu di depan mataku.
          Aku yang terus berkutat dengan Waskita pun masih terus mengunjungi Markaz dengan keadaannya yang kadang hanya ada dua sampai tiga orang anak saja. Sampai suatu saat Moti kembali mengajaka aku membuat sebuah buku lagi. Tapi ini bukan sebuah antologi, tapi buku pribadi untukku. Buku tersebut adalah buku puisi milikku sendiri dengan cetakan sederhana kami yaitu dengan menggunakan sistem print out seperti sebelumnya.
          Dengan menyetorkan kira-kira 50 puisi itu Moti melakukan tugas me-lay out  puisiku agar bisa menjadi rapi seperti buku-buku cetakan Gramedia, maupun Diva Press. Dengan judul “Story of Love” itu HQ membuat sampul yang awalnya ingin diberi sebuah gambar kartun seorang cewek, namun kemudian diganti dengan gambar gugurnya daun warna kuning. Sangat mengesankan.
          Semua berlalu dengan cepatnya melalui cinta, cinta bisa membuat waktu serasa berlari, namun bisa juga membuat sang waktu enggan untuk berjalan. Cinta memang keadaan yang mengagumkan, perasaan yang membingungkan, namun menakjubkan. Story of Love.

          Back to School ¾
          Pada tahun 2012 tepatnya tanggal 1 April aku dan Tomy memutuskan untuk kembali ke sekolah formal. Kami memutuskan ke sekolah formal alasannya adalah Waskita tinggal aku dan Tomy saja yang masih sering berkunjung ke Markaz. Moti, Habib, Atho’, Najib, Mahfudz, sampai Hadi sudah duluan melanjutkan ke jenjang formal tersebut.
          Awal kami terpisah adalah dimulai dari Habib dan Atho’ yang dipaksa oleh orang tua mereka untuk melanjutkan sekolah, kemudian menyusul Mahfudz, lantas Moti pun ikut nimbrung dalam kegiatan formal tersebut. Tinggal tiga anak aku, Tomy, dan Hadi saja yang masih setia sampai saat itu menjaga kedamaian Waskita dengan segala kesederhanaannya.
          Sampai pada kejadian yang membuat aku dan tomy merasa ditinggal. Hadi pun kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam sekolah formal tersebut yang di kepalai Sekolah oleh salah satu pelopor berdirinya Komunitas Belajar Waskita, adalah Ust. Mahsun Maftuhin. Tinggal aku dan Tomy.
          Setelah beberapa minggu aku dan Tomy ngobrol sendiri, tomy mengajak aku untuk kembali ke sekolah. Aku pun tidak menyangka bahwa anak-anak punya niatan untuk melanjutkan semua. Atau mungkin hanya aku yang tidak punya hasrat untuk melanjutkan sekolah. Tomy mengajak aku kembali ke sekolah dengan syarat harus masuk IPA, jika kami masuk jurusan IPS maka kami akan mencari sekolah yang lain.
          Sebenarnya kami semua anak Waskita rata-rata masuk ke dalam jurusan IPS. Hal ini terjadi karena kami dulu juga pernah ikut semesteran di sekolah swasta di Kedungjambe yang berbasis Islamiyah. Namun semua teman-teman Waskita yang kembali ke sekolah masuk IPA semua, entah apa yang mereka pikirkan.
          Minggu, 1 April 2012 aku dan Tomy masuk ke sekolah formal yang saat itu sudah kelas 2 semster 2 dengan segala kecanggungan karena memang kami adalah anak baru di sekolah lama, karena kami dulunya lulusan MTs di sekolah itu. Anak baru di sekolah lama yang menarik perhatian banyak siswa yang lain, tapi tidak dengan salah satu temanku yang sudah duluan di jurusan IPS. Sering mnegajakku mengobrol dan bertanya kenapa bisa masuk IPA padahal daftar nama di absensi ada di jurusan IPS. Ya itulah hebatnya anak Waskita, jawabku seadanya.
          Vera merasa terkejut dengan kehadiranku ada di sekolahnya dengan seragam lengkap. Sebelumnya memang sudah kuberitahu bahwa aku akan kembali sekolah, anmun semua ditanggpai dengan santai seperti guyonan saja. Tapi kini benar-benar aku hadi dihadapannya.
          Sebelum benar-benar aku kembali kesekolah aku pernah mengungkapkan kepada Vera bahwa aku menyuakinya. Ketika itu malam hari sesudah Isya’ aku iseng telpon dia dengan topik yang gak jelsa, sampai kuberanikan diri untuk berkata bahwa aku menyukainya, aku menyayanginya. Namun aku tidak ingin dulu pacaran. Kataku saat itu.
          Kunyatakan perasaanku kepadanya setelah beberapa kali dia ingin mengajak aku pacaran. Karena memang saat itu aku masih malas untuk berpacaran maka aku jawab tidak untuk sekarang. Sampai menurutku terjadi kejadian lucu dengan tingkah yang ditunjukan Vera. Dia biasanya memanggil namau dengan hanya Fa, namun setelah aku sering megatakan tidak untuk peryataan sukanya kepadaku, dia kemudian merubah nama panggilan itu menjadi Thoni dengan nada entah itu sedikit kesal atau sudah marah.
          Disekolah baru tapi lama itu, banyak dari teman Waskita ku mulai meng-gojloki aku dengan Vera yang katanya aku suka dengan si Vera. Mulai saat itupun Vera mulai sering nampak di depan mataku, entah itu di depan kelasku atau bahkan sekedar liwat untuk pergi ke kamar mandi.
          Di jurusan IPA ini aku banyak berkenalan dengan teman-teman baru. Tapi tidak semuanya, ada juga teman lama yang dulu pernah satu angkatan sewaktu MTs di sekolah tersebut. Bahkan ada salah satu sanak keluargaku yang satu jurusan namun aku tidak pernah mengenalnya sampai aku diberitahu oleh salah satu teman sekelas MTs dulu. Muniroh namanya.
          Muniroh adalah keponakan dari keluarga bapakku, karena bapaknya Muniroh masih sepupuku. Waktu tu aku merasa pernah melihatnya, namun aku lupa dimana, dan kapan. Walaupun dia sudah mengenaliku, namun aku sama sekali tidak pernah mengenalnya.
          Entah apa yang terjadi dengan anak-anak Waskita ini, menginjak kelas 3 masing-masing dari kami sudah memiliki pacar yang rata-rata adalah satu kelas. Moti dengan Iis satu kelas, Tomy dan Muniroh satu kelas, Atho’ dengan Fatim satu kelas juga. Yang beda kelas dan angkatan waktu itu adalah Habib karena bercinta dengan adik kelasnya, Suci.
          Yang belum tersentuh oleh desas-desus punya hubungan dengan seorang cewek adalah Najib. Entah kenapa anak yang satu ini lolos dari jeratan isu soal hubungan lawan jenis. Aku pun masih terus saja di sangkut pautkan dengan Vera Wahyuni, gadis Terban yang selalu mengganggu pikiranku saat itu.
          Sampai suatu ketika setelah pulang sekolah yang waktu itu hari Kamis. Setelah baru saja sampai di rumah, aku sempatkan diriku untuk meng-sms Vera bahwa aku sudah pulang. Masih dengan topik yang sama Vera terus saja membujukku untuk mau menerima dia menjadi pacarku.
          Kamis, 1 November 2012 aku dan Vera resmi berpacaran. Karena waktu itu aku mendapatkan sms dari salah seorang temen cewek untuk berpura-pura menjadi pacarnya hanya untuk memanas-manasi pacarnya. Dari pada memilih berpura-pura menjadi pacar orang, akhirnya aku menerima Vera menjadi pacarku waktu itu. Kamis 1 November 2012 hari hubungan VeFa.
          Setelah tanggal itu aku dan Vera menjalani aktifitas sekolah dengan wajar dan tanpa adanya hubungan mesra seperti temntemanku yang lain. Bahkan aku sering tidur dikelas jika sedang malas untuk berbuat sesuatu. Vera pun memaklumi dengan segala tingkahku yang seenaknya. Inilah yang membuatku nyaman ketika itu berhubungan dengan Vera.
          Suasana sekolah waktu itu serasa tidak lagi penat, tidak lagi membosankan untukku. Entah itu karena Vera atau aku memang sudah mulai nyaman dengan sekolah. Tapi sepertinya lebih cenderug kearah karena faktor V, bukan faktor X. Vera.
          Ketika berangkat sekolah aku selalu menunggu kehadirannya di serambi Masjid sambil menunggu bel masuk. Saat dia datang dengan wajah yang begitu mempesona aku merasakan ada perasaan yang nyaman dalam diriku. Namun, ketika sampai bel masuk dia tidak datang, aku mulai bertanya-tanya “Kenapa kamu hari ini tidak masuk Ve?”, “Kamu sakitkah?”. Kamu membuatku khawatir Ve.
          Namun jika dia masuk sekolah, keadaan mulai berubah seperti hujan yang tiba-tiba diterkam oleh panas dari balik punggungnya. Semua begitu cerah, begitu menyenangkan bagiku. Apalagi setelah aku selesai Sholat Ashar dan ingin segera kembali ke kelas Vera selalu siap dengan penuh senyum menugguku, dan melihatku sampai aku menghlang dari balik matanya. Dia begitu mengesankan bagiku.
          Di akhir pekan yang pagi ketika memang belum waktunya berangkat sekolah, aku sempatkan waktuku untuk datang kerumah Vera yang hanya ingin sekedar ngobrol ngalor-ngidul  tanpa ada harus tahu selain aku, dan dia saja. Yang membuat aku merasa dihargai menjadi pasangannya adalah ketika hari sudah menjelang maghrib dan dia belum mendapatkan jemputan pulang (ketika itu dia sedang ada di rumah neneknya), Vera berpesan kepada HQ untuk mengantarkan dirinya pulang karena memang waktu itu hari sudah hampir adzan Maghrib.

          Majalah Waskita ½ Creation, Love, & Dream ¾
          Disela-sela rutinitas kegiatan sekolah, kami para anak Waskita juga berencana mengeluarkan sebuah sebuah majalah untuk yang pertama kali dengan ciri khas ceakan kami, sebuah proses print out. Majalah tersebut akhirnya keluar setelah malam hari sebelumnya kami begadang untuk menyetel sedimikian rupa demi menawannya majalah kami. Majalah Waskita.
          Pagi hari ketika sekolah mengadakan ujian semesteran kami pulang ke rumah Tomi sebentar untuk mem-print out sampul majalah. Warna kuning keemasan pada sampul depan dipadukan oleh warna puyih berpola batu bata yang tersusun rapi majalah kami siap di edarkan. Sebelum benar-benar kami membawa ke sekolah kami menberi sentuhan plester bening untuk menjaga warna agar tidak luntur ketika nanti terkena air.
          Majalah yang berjumlah 14 tersebut akhirnya laku keras sampai ada tidak kebagian karena keterbatasan stok. Dengan harga Rp. 2.000,-per majalah, kami mendapatkan hasil yang lumayan atas jerih payah kami.
          Majalah Waskita edisi yang pertama diisi oleh rata-rata anak Waskita dan anak yang respect dengan adanya Waskita. Diantaranya adalah beberapa anak pondok yang kadang setiap harinya ikut nimbrung dengan kami untuk sekedar ngobrol humor, saling ejek, atau saling curhat. Merka adalah Saiful, Arif (Jack), Andre, Deni, Avandi, Zainul (Tokichi), dan HQ (M. Rifqi Baihaqqi).
          Setelah terjualnya majalah Waskita kepada teman sekelas kami, kami berencana mencetak lagi untuk beberapa anak yang merasa belum kebagihan jatah karena memang keterbatasan waktu penerbitan dan bahan waktu itu.
          Namun sekali lagi keadaan yang memaksa kita untuk stagnan dengan pekerjaan kami. Keadaan rasa malas, dan kesibukan masing-masing dari kami yang mengharuskan untuk mencabangkan konsentrasi untuk Waskita dan untuk kegiatan  masing-masing. Namun Waskita tetap terus bernafas dengan restu bumi.
          Semua yang telah terjadi dengan stagnannya Waskita tidak meruntuhkan aura Waskita-isme yang melekat pada batin masing-masing anak. Semua yang telah dilewati masih terus saja menjadi perbincangan hangat ketika bertemu untuk saling menyapa satu dengan yang lain. Seluruh kejadian masih terus diingat dengan penuh pengharapan bahwa Waskita akan bangkit kembali. Bahkan kemenagan tiga kali berturut-turut bermain sepakbola dengan (sebelum) sekolahku. Itulah Waskita.
          Sampai tiba kita dihadapkan pada sebuah ujian yang sedang mencoba memisahkan kami dengan hiruk pikuk masa sekolah yang selalu menjadi masa terindah bagi kami. Ujian Nasional sudah diambang pintu perpisahan, hanya tinggal beberapa hari lagi. Tinggal beberapa hari lagi kami akan berpisah satu dengan yang lain, beraktifitas dengan keadaan kami masing-masing, bergerak dengan gerakan kami masing-masing.
          Hari yang tinggal beberapa tersebut kami pergunakan untuk saling mengakrabkan diri (lagi) satu dengan yang lain, dengan cara belajar bersama, bermain bersama, sebelum benar-benar kita kehilangan senyum masing-masing dari kita. Semuanya akan pergi termasuk kekasih yang begitu disayangi dengan senyum yang selalu kita nikmati.
          Ujian Nasional berjalan lancar dengan anak IPA yang 99% jujur tanpa menyontek teman, maupun dari buku. Hanya dua anak saja yang saat itu tidak percaya dengan dirinya sendiri dan menyontek buku, atau catatan yang mereka buat. Tapi kejujuran kami tidak diimbangi dengan rata-ratanya anak IPS yang sedang gencarnya melakukan tipuan dengan isu contekan yang santer terdengar di seluruh sekolah saat itu. Dan hasilnya anak IPA rata-rata nilanya diatas nilai standart kelulusan dengan sangat tipis, sedangkan anak IPS diatas standar nilai kelulusan dengan jarak lumayan banyak.
          Hari kelulusan menjadi momen terkahir kami bersama dengan keluarnya kata “LULUS” dari kepala sekolah. Semua senang dan terbawa suasana gembira sampai tidak sadar bahwa sebenarnya perpisahan membuntuti punggung masing-masing. Dan akhirnya kami memang harus berpisah, menjalani kehidupan dengan sendiri-sendiri lagi. Membuat karya dengan jalan kami masing-masing, membahagiakan diri dan almamater dengan kaki kami masing-masing. Semua sudah melewati pintu yang sedari dulu menunggu untuk dilangkahi. Pintu perpisahan yang begitu menyakitkan.
          The Dark of LoVE ¾
          Pintu perpisahan selalu terbuka selama kita masih membuka diri untuk saling mengenal dan saling menerima keberadaan orang lain. Dan memang begitulah kenyataannya, kita tidak mungkin menutup diri untuk orang lain, tidak mungkin juga kita terus sendirian tanpa kehadiran orang lain yang akan melengkapi kehidupan pribadi kita. Setiap seorang butuh seorang lain untuk saling melengkapi.
          Waskita pun vakum dengan keberadaan anggotanya yang mulai berseberang jalan dalam menuntaskan dahaga ilmunya, memtuhi keinginan orang tua, sampai ada yang sedang menyelesaikan cita-citanya. Semua sudah terjerat kepentingan dan kesibukan masing-masing. Markaz pun mulai sepi, kosong, tidak ada dengung-dengung tawa yang biasa di sajikan runagan persegi kecil tersebut.
          Kisah asmara para anggota Waskita pun mulai megalami retak yang menyerang beberapa pribadi yang menjalani kisah asmara dengan teman sekelas atau seangkatan. Tomi, Moti, dan aku sendiri mengalami kegoyahan dalam hubungan cinta kami. Moti dan Iis yang putus ditengah jalan yang dulu disinyalir bakal langgeng sampai jenjang pernikahan, Tomi pun demikian dengan Muniroh yang entah ada masalah apa dengan mereka.
          Kemudian aku sendiri yang mungkin ini nasib paling tragis dalam hubungan kisah cinta antara anggota Waskita. Aku memutuskan untuk undur diri dan hati dalam memenuhi kebutuhan kisah cinta dengan Vera setelah dia secara resmi menerima lamaran seseorang. Ya, aku memutuskan dirinya setelah dia resmi dijodohkan oleh orang tuanya. Entah apa yang menjadi pertimbangan dia untuk menerima lamaran tersebut setelah beberapa kali dijodohkan ditolak oleh dia.
          Aku patah hati, aku putus cinta, aku ditinggal nikah. Itulah yang biasa teman-teman ungkapkan untuk sekedar mem-bully keadaan diriku yang seperti ini. Tapi semangat yang mereka tularkan lewat ejekan mereka selalu bisa membuat senyum tipis mengudara dan sejenak melupakan keadaan Vera. VeFa sudah tidak ada tepat pada tanggal 1 November 2013, yang artinya tepat setahun VeFa hadir dan menjalani kehidupan cintanya. Tapi VeFa masih tetap bersikukuh dalam masing-masing dari kami, itu yang kau rasakan. Entah dengan Vera.
          Tanggal 25 Mei 2014 hari puncak sakit yang aku alami ketika itu. Ketika Vera melangsungkan pernikahan di rumah sederhananya. Aku diundang beserta Mbak ku, juga degan rombongan teman-teman kuliahku yang entah dari mana mereka semua saling mengenal. Aku yang tidak sempat menyaksikan akad nikah yang diucapkan oleh pengantin laki-laki merasa sedikit kecewa dengan terlambatnya teman-temanku karena aku harus menjemput mereka.
          Semua orang yang pernah tahu aku punya hubungan dengan Vera mem-bully­ dengan ejekan yang rata-rata ditinggal nikah, ditinggal kawin, dlsb. Semua ejekan itu menerpa telingaku melewati sela-sela lubang telinga sampai kedalam otak yang dipaksa untuk merekam satu persatu omongan tersebut. Pernikahan tersebut berlangsung siang hari yang panas, tidak hanya kulitku yang merasa kepanasan, namun hatiku pun merasa gerah dan cukup panas.
          Kini yang ada sekarang hanya kenangan bersama dirinya, kenangan yang selalu beriringan dengan memori Waskita dalam otakku. Karena memang VeFa hadir ketika nafas Waskita dalam diriku berhembus dan mengudara. Kenangannya tersimpan baik di rak yang terpilih khusus untuk Waskita, namun ia berhasil masuk kedalam celah diantara barisan kejadian. Waskita dan Vefa, VeFa dan Waskita. Keduanya memiliki potensi yang sama untuk terus kuingat.


          Waskita Sekarang  ....
          Beberapa bulan pun berlalu dengan cepat, Waskita pun vakum, nafas Waskita mulai tersengal lemah dengan ketidak hadiran anggotanya yang terus memberikan eksistensi kepada Waskita. Contoh yang selalu memberikan denyut eksistensi bagi Waskita adalah Moti, Hadi dan Tomi yang terus serius dalam menggarap Waskita. Mereka bertiga selalu loyal kepada Waskita, selalu siap untuk Waskita. Kami pun sering menganggap bahwa Waskita adalah pertama dan terakhir dengan hanya kami yang hadir dalam Waskita.
          Kemudian  aku yang kuliah sudah menempuh semester 3 ketika itu mendengar bahwa Waskita akan hidup lagi dengan generasi baru yang lebih nyewek. Karena mereka yang mencoba menghidupkan nafas Waskita lagi adalah rata-rata cewek yang sedang mondok di nDalem Ksatrian Ma’had Al-Ibadah Waskita. Kami yang merasa menjadi angkatan pertama dan terkahir pun sejenak memudarkan anggapan tersebut ketika ada yang masih bersedia meneruskan hidup Waskita.
          Entah apa yang membuat para calon anggota Waskita yang baru ini belum menjalankan eksistensi  mereka. Keadaan ini kembali membutakan pudarnya naggapan tersebut. Anggapan bahwa kami benar-benar menjadi yang pertama dan terakhir kembali hadir. Tapi, semoga saja kami tidak berhenti dalam berkarya untuk Waskita, mawas diri untuk Waskita, dan kedepannya bisa membuat Waskita semakin mengeluarkan eksistensi sebagai Komunitas Belajar yang Waskita dan Islamiyah.
          Aku kembali tersadar dari lamunan panjangku malam itu ketika purnama tepat berada diatas kepalaku dengan warna jingga yang mengagumkan dan menawan. Semua lembar-lembar kenangan aku simpan lagi dalam rak-rak yang kususun secara mengelompok dengan sortiran masing-masing alfabet dan tag kejadian yang sama atau yang relevan. Semua sudah menjadi kenangan, sudah menjadi pengalaman, dan semua sudah berlalu dengan segala kebaikan dan penyesalan yang selalu membuntuti.
          Aku melangkah dari tempat lamunanku malam itu beranjak kedalam kamar untuk sekedar rebahan mengistirahatkan badan dan pikiran. Kutumpuk kembali sebuah majalah tipis sederhana itu ketempatnya semula. Aku merebahkan badanku dengan mata yang ngantuk mencoba memulaskan tidur dengan harapan bisa bermimpi kembali ke Waskita. Tiba-tiba ingatan Waskita kembali dengan segala jalur yang ditimbulkannya. Waskita “Kami Sama tapi Beda, Untuk Indonedia Baru”.
          Waskita belum selesai. Salam

          To be Continue ....
Tuban, 1 Agustus 2015

*        Tulisan ini dibuat karena merasa rindu dengan Waskita, dan segala yang menjalar diantaranya.

1 komentar: