Akhir-akhir ini banyak sekali
masalah yang terjadi dalam kepengurusan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus
(OMEK) PMII Cendekia Bojonegoro periode 2015-2016. Mulai dari sang ketua yang
tidak mau sesekali menampilkan sebaris senyum untuk bawahannya, yang berimbas
kepada anak buah yang bergantung pada titah sang ketua, jika sang ketua tidak
mau hadir dalam sebuah acara rapat maka, para pion-pion yang ada di bawah pun
akan berkata “ketuanya saja tidak hadir kok” atau “males ah, ketuanya saja juga
males kok”.
Padahal
pada masa sekarang ini PMII Cendekia sedang mengalami masa terhimpit ditengah padang
peperangan setelah beberapa waktu yang lalu ada “kucing” yang tiba-tiba berubah
menjadi singa dan memakan anak-anak majikannya sendiri.
“...
Sekarang ini, PMII STIE seperti layang-layang tanpa benang, bidak catur tanpa
raja. Apa yang terjadi dengan PMII mendatang adalah apa yang akan dilakukan
oleh para pion-pion saat ini. Jika bidak caturmu tanpa raja, maka teruslah
bertarung bukan demi rajamu, tapi demi tanah airmu.” ——
Itulah
yang dikatakan para alumni kepada PMII Cendekia sekarang, layang-layang tanpa
benang, bidak tanpa raja. Layang-layang tanpa benang itu akan selalu terbang
terombang-ambing tanpa tujuan, terombang-ambing kemana angin menggiring.
Masalah
yang lain yang menjadi titik ancaman yang berarti bagi Komisariat PMII Cendekia
Bojonegoro adalah kehadiran seseorang yang menyusup kedalam kepengurusan,
mengacak-acak sampai kemudian secara terang-terang menusuk para pengurus dengan
gerakan yang tidak diprediksi sebelumnya, yang berimbas pada akan matinya
kepengurusan tahun depan jika sekarang ini pengurus tidak melakukan tindakan
terkait apa yang akan dilakukan dengan Komisariat kedepan.
Beberapa
strategi dirembuk bareng demi eksistensi kepengurusan tahun depan. Mulai dari
pendekatan ulang kepada calon kader sampai kepada pendekatan intern kepada
pihak lembaga instansi kampus yang notabene menolak ke-ada-an, dan kehadiran
PMII di kampus STIE Cendekia Bojonegoro. Strategi tersebut semisal seperti mendekati
lembaga dengan membuang dulu wajah PMII kita sementara, lalu mengganti wajah
baru yang lebih bersih seperti noda, yang disukai oleh pihak ketiga.
Jika
membahas tentang strategi tersebut saya malah teringat lagu Iwan Fals yang
berjudul ‘Nak”. Di beberapa syair terakhir lagu tersebut bercerita tentang
nasihat sang ayah kepada sang anak untuk bisa memabaca situasi dan kondisi agar
ia bisa sukses kelak.
Jadilah
Kancil jangan Buaya
Sebab
seekor Kancil sadar akan bahaya
Jadilah
Bandit berkedok jagoan
Agar
semua sangka engkau seorang pahlawan
Jadilah Bunglon
jangan Sapi
Sebab
seekor Bunglon pandai baca situasi
Jadilah
karet jangan besi
Sebab
yang namanya karet paham kondisi
♪ Jeng-Jeng-Jeng-Jeng
♪ —
Kira-kira
seperti itulah sepenggal lirik diakhir lagu yang dinyanyikan oleh sang ayah
yang tidak kuta lagi menhan murka. ♪ Jeng-Jeng-Jeng-Jeng ♪.
Setelah
ini apakah kita akan masih menggunakan langkah seperti lirik lagu diatas dan
nantinya kita akan mendapatkan label
Muka dua — secara hakikat agama — dengan tingkat keberhasilan dibayangan adalah
cemerlang, ataukah akan menyetel ulang konsep dengan menimbang-nimbang beberapa
risiko mulai dari risiko fisik maupun yang metafisik.
Entah
nanti apa yang dilakukan oleh para pengurus itu adalah keputusan yang terbaik
demi eksistensi dan keberlangsungan hidup PMII Cendekia Bojonegoro dalam
mengarungi padang peperangan yang telah tersulut sejak dulu oleh para pendiri
dengan para lembaga yang digaungi oleh Dosen-dosen yang mengidentikan diri
mereka dengan berbagai atribut dan sikap yang terang-terangan menolak kehadiran
PMII. ۶
♪ Jeng-Jeng-Jeng-Jeng ♪ ———
Bojonegoro, 1 Juni 2015
Fathoni
0 Respon:
Posting Komentar