Entitas per-Sahabat-an



PMII atau jikalau ada yang belum paham adalah akronim dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Bagi para kader-kader PMII, keloyalan terhadap organisasi adalah suatu hal yang mutlak, yang perlu dijaga, dan ditularkan kepada setiap junior atau kader-kader baru. Karena, di setiap teks baiat yang entah itu MAPABA, PKD, ataupun ketika menjabat menjadi seorang pengurus ada sebuah kalimat yang memang harus diucapkan, dan dilaksanakan oleh semua kader, anggota, maupun pengurus.



    Kalimatnya adalah seperti ini “Karena Mundur Satu Langkah adalah Bentuk Penghiantan” yang artinya, keloyalan sangat dijaga dan selalu didengungkan oleh setiap kader PMII. Dan di Komisariat saya (PMII CENDEKIA) kalimat semacam ini lumayan ampuh untuk “mengikat” kader dengan keloyalan. Juga kalimat lain adalah “... senantiasa patuh dan taat kepada pimpinan organisasi bahwa ketidaksetiaan kepada pimpinan organisasi adalah suatu bentuk penghianatan terhadap organisasi dan pesti akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT”.
    Kalimat-kalimat di atas sedkit contoh yang tergambar bahwa keloyalan memang sangat ditekankan oleh PMII, dan mungkin untuk organisasi lain pun demikian. Karena, keloyalan anggota kader, adalah sesuatu hal yang perlu dijaga stabilitasnya. Di dalam PMII, semua kader, anggota, pengurus, baik dari Rayon, Komisariat, Cabang, Koor-Cabang, maupun Pengurus Besar semua dipanggil dengan sebutan Sahabat dan itu berlaku di seluruh Indonesia.
    Sahabat adalah kawan, teman, handai, itu menurut Kamus Bahasa Indonesia, yang kesemua artinya menunjukkan makna pertemanan, pergaulan. Jika para Sahabat pembaca pernah membaca buku Hidup Berawal Dari Mimpi yang ditulis oleh Fahd Djibran dan Bondan Prakoso and Fade2Black, pasti Sahabat pembaca sekalian akan menemukan sebuah kalimat “Friendship is giving Someone ability to destroy you, but trusting them not to ...” yang artinya kurang lebih semacam ini; “Persahabatan adalah memberikan seseorang kemampuan untuk menghancurkanmu, namun juga mempercayai mereka untuk tidak melakukannya”.
    Kesimpulan sementara, Sahabat adalah seseorang yang ‘istilahnya’ bagian dari diri kita, yang menjadi tempat pelarian ketika kita memang butuh perhatian, kenyamanan, butuh ketenangan. Namun, di lain sisi kita juga memberikan mereka “kesempatan” dan “kemampuan” untuk menghancurkan kita, jika ada kesempatan, jika ada kemampuan. Mungkin itulah sedikit deskripsi singkat mengenai Sahabat dan Persahabatan menurut Penulis.
    Jika para Sahabat pembaca punya deskripsi lain mengenai arti Sahabat silahkan saja, dan itu SAH. Karena  “Cogito Ergo Sum”  ¬ Aku Berpikir maka Aku Ada ¬
 Dan panggilan ‘Sahabat’ di PMII sangat diagungkan dengan setiap forum ataupun kegiatan, kata ‘Sahabat’ selalu menjadi kata penghubung yang seakan-akan sudah kenal lama dan punya hubungan erat. Walaupun itu kenalnya hanya dalam forum, ataupun bahkan di dalam forum tersebut tidak ada suatu aktifitas perkenalan terlebih dahulu.
    Namun, kata ‘Sahabat’ selalu menjadi pengobat canggung untuk masing-masing individu untuk sekedar bercuap-cuap tak karuan, atau berdiskusi pengalaman, masalah, dan yang lain yang menyangkut ke-PMII-an.
    Begitulah kiranya kata ‘Sahabat’ di PMII bisa menjadikan seseorang dengan seseorang lain yang tidak saling kenal menjadi “rada” akrab. Namun, terkadang kata ‘Sahabat’ di PMII  Subjektif pribadi  menjadi sebuah kata yang agaknya sangat berat. Karena jika kita berbicara tentang Sahabat, adalah seperti yang saya tulis diatas, mereka sudah menjadi bagian dari kita, yang selalu ada, yang sudah kita kenal, yang sudah akrab dengan kebiasan buruk dan baik dari kita.
    Kenapa begitu berat? Dari sisi mana titik pemberat kata ‘Sahabat’?. Sebelum kita terlalu jauh, alangkah lebih nikmatnya siapkan secagkir kopi dulu, barangkali nanti ada yang bisa didiskusikan tentang ini.
    Yang berat dari kata ‘Sahabat’ menurut subjektifitas dan perspektif saya adalah terkadang ketika kita menganggap semua kader PMII adalah sahabat maka semestinya ketika saling bertemu, saling bertukar pandang maka hendaklah dan lebih bagusnya menyapa. Minimal jika tidak sampai kenal atau mungkin sungkan untuk menyapa bisa digantikan dengan senyum semriwing, bisa saja kan.
    Tapi fakta dan nyatanya adalah tidaklah demikian. Ini adalah kecil contoh yang bisa saya gambarkan dan saya paparkan kepada Sahabat pembaca sekalian. Suatu ketika pada pertengahan bulan April 2015 kemarin PMII merayakan Malam Resepsi Puncak Harlah PMII di Surabaya dengan (dari yang saya dengar) mengundang seluruh kader dari Indonesia untuk ikut bergabung dengan Sahabat lain di Masjif Agung Surabaya.
    Acara tersebut dimulai dari siang hari dengan beberapa penampilan dari D. Zawawi Imron,  Sujiwo Tedjo serta beberapa seniman lain. Juga mengundang Bapak Presiden Ir. Joko Widodo untuk memberikan sambutan dan prakata mengenai PMII dan usianya yang sudah 55 Tahun, waktu itu.
    Ketika Malam Resepsi Puncak akan dilangsungkan, segenap sudut di Masjid Agung Surabaya dipenuhi oleh atmosfer dan kader PMII dari pelbagai generasi, dan daerah. Kemudian salah satu yang mencolok disana yang sempat saya rasakan adalah hilangnya entitas Sahabat dalam PMII yang sering saya dengar.
    Pause. Cerna dulu kalimat saya. Jangan lupa untuk minum kopi, jangan sampai dingin. Akan saya jelaskan. Skip>>
    Maksudnya adalah ketika dalam forum atau kegiatan lokal (per-Cabang) semua kader bisa berbaur riuh antara satu kader komisariat lain dengan kader lain dari komisariat lain. Kata ‘Sahabat’ menjadi jembatan yang memang benar-benar berhasil menghipnotis semua kader untuk berbaur tanpa memandang latar belakang, tanpa memandang dari komisariat mana ia berasal. Itu pesona Sahabat.
    Kemudian mari kita kembali satu tahun yang lalu ketika Malam Resepsi Pucak PMII 55th di Surabaya tersebut. Kata ‘Sahabat’ yang selalu teragungkan, yang terucap dan terdengar di telinga kader seakan hilang, buyar, dan berantakan. Apa masalahnya?
    Apa mungkin seluruh kader terlalu terbius euphoria yang terbalut kemewahan acara? Atau malah memang kata ‘Sahabat’ tidak berarti, artinya akan hilang dan tidak bisa diucapkan ketika beda daerah, beda adat, beda budaya, belum terlalu kenal?.
    Lantas kemana perginya Esensi dan Entitas per-Sahabat-an yang selalu di dengungkan kepada kader-kader PMII selama ini? Apa hanya sebatas kenal dan lokal maka kata ‘Sahabat’ bisa disematkan?
    Ini bukanlah sebuah tulisan yang ingin memberi kritik yang nyinyir ataupun bertindak menghakimi pihak maupun oknum-oknum tertentu. Ini hanya sebuah tulisan refleksional yang mempertanyakan, yang ingin mendapatkan jawaban. Jika ada dari Sahabat pembaca merasa punya jawaban, kita bisa berbagi pikiran, bertukar diskusi.
    Nah, contoh di atas adalah satu dari sekian kejadian yang pernah saya alami. Mungkin contoh tersebut terlalu luas untuk bisa disebut sebuah contoh. Akan saya kecilkan lagi volume contohnya.
    Contoh lain adalah di daerah saya sendiri (baca: rumah) ada sebuah lingkungan pesantren yang punya satuan lembaga pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Dan di dalam lingkungan akademisi tersebut, berdiri sebuah komisariat atau kepengurusan PMII tingkat kampus. Nah, di suatu hari saya dan ketua komisariat mendapat undangan untuk dolan kesana. Sampai disana, kita saling berkenalan, saling bertukar cerita, bertukar tawa, dll.
 Kemudian di suatu hari yang lain, saya kembali melewati daerah santri tersebut, tanpa menggunakan “almamater” dan atribut PMII saya. Lantas di lintas perjalanan saya melihat kader PMII yang dulu sempat berkenalan dengan saya, kami bertukar pandang, bertukar muka. Namun yang mengejutkan dia tidak menyapa saya, saya pun begitu.
    Alasan kenapa saya memutuskan untuk tidak menyapa adalah karena saya berpikir “mungkin dia lupa dengan saya, jadi gak penting juga buat menyapa”. Walaupun terlihat klise, namun memang begitu. Atau mungkin alasan dia tidak menyapa saya juga seperti itu. Entahlah! Lantas?
    “Kenapa pada waktu Resepsi Puncak yang sudah jelas-jelas menggunakan atribut dan almamater, masih tidak ada rasa respon, rasa reflek untuk menyapa?
    Apa yang sebenarnya terjadi dengan napas ‘Sahabat’ dalam tubuh PMII?  Kemana perginya entitas per-Sahabat-an yang selalu didengungkan oleh PMII?
    Karena pada hakikatnya per-Sahabat-an itu tidak mengenal jauh, tidak mengenal latar sosial atau budaya. Sama seperti cinta, persahabatan itu buta, pada awalnya. Namun jangan sampai kebutaan itu menggiring kepada kepicikan untuk memilah dan memilih yang sesuai, yang cocok dengan kita saja. Mestinya kebutaan tersebut kita sembuhkan untuk menerima yang baru, yang tidak cocok, yang tidak sepaham dengan kita, agar bisa saling melengkapi.
    Jika kalimat atau tulisan ini terlihat seperti menggurui, maafkanlah saya. Jika terlihat sok puitis atau sok bijak, maafkanlah saya. Karena sekali lagi, tulisan in hanya bentuk refleksional, reaksi kesadaran yang sudah tidak muat untuk terpendam dalam otak. Dan akhirnya keluar menjadi tulisan tak beraturan, dan membingungkan.
    Mungkin sekadar itu saja yang bisa tertulis dengan tak beraturan. Jika tulisan saya ini mengandung banyak kesalahan mohon untuk dibenarkan dan dimaafkan. Karena saya sadar, saya bukan siapa-siapa, yang ingin menjadi siapa-siapa.
Wallahul Muwafiq. Salam...

“Sekali Bendera Terkibar Hentikan Ratapan dan Tangisan
Karena Mundur Satu Langkah Adalah Bentuk Peghianatan”
Tertulis karena pertanyaan, karena keresahan, pada Minggu petang ketika Matahari masih mengintip sore dengan agak malas.

15 Mei 2016
Fathoni “Jawazim” Abdul Jalil Ibn Masykur

0 Respon:

Posting Komentar