LAWU | 3265mdpl
Before the story begin —
Awalnya
entah sekadar batas gurauan atau ingin ikut merayakan upacara ceremonial yang diselenggarakan setiap
tahunnya, yaitu hari kemerdekaan Indonesia yang selalu menjadi hari keramaian,
hari bersorak pada 17 Agustus. Sahabat-sahabat saya atau mungkin juga bisa
disebut sebagai saudara-saudara saya ini mengajak saya untuk muncak (baca:
mendaki gunung) di tanggal 15 Agustus kemarin, tepatnya 2 hari sebelum hari
seremonial 17 Agustus, karena mereka ingin mengkibarkan Sang Saka merah putih
di puncak tertinggi di Jawa Timur, Lawu.
Rencana sudah tersusun, segala
konsep dan diskusi peralatan pun sudah memenuhi titik sepakat. Namun, beberapa
hari sebelum hari pemberangkatan pada 15 Agustus tersebut, pengumuman KKN
(Kuliah Kerja Nyata) menggoyahkan semangat kami karena KKN harus dilaksanakan
pada tanggal 22 Agustus, yang artinya kami tidak akan bisa menghemat waktu,
tenaga dan pikiran jika memaksakan diri untuk tetap berangkat pada tanggal 15
Agustus. Absurd.
Maka, gagal pulalah pengkibaran
bendera tanggal 17 Agustus di Puncak Lawu. Kami semua fokus pada agenda
kegiatan KKN kami masing-masing karena beberapa dari kami ditunjuk menjadi
ketua koordinator kelompok. Semua menghemat tenaga pada KKN untuk tetap sedia
berdiri di puncak lawu setelah ini.
28 Agusutus agenda KKN resmi ditutup
dengan seremoni bersama pemuda desa Karang Taruna serta masyarakat desa. Lantas
rencana ke puncak lawu pun terus didiskusikan karena tanggal belum tersepakati.
Sampai kemudian tanggal 31 Agustus dipilih sebagai tanggal yang sakral untuk
pemberangkatan.
Our love have been so strong for
far too long
I was weak with fear that
something would go wrong —
Tidak
semua sahabat-sahabat yang sudah akrab yang seperti saudara saya ini ikut
bergabung dalam pendakian pertama saya ini. Rasa kekurangan berhasil membuat
sesuatu yang mengganjal di hati saya, karena sudah jadi kebiasaan bahkan sudah
keharusan bahwa jika pergi nge-trip itu
harus bareng dan bersama-sama. Itu bagi saya, entah bagi sahabat-sahabat dan
suadara-saudara saya ini.
Jam 8 pagi bekal sudah dipersiapkan,
mulai dimasukkan kedalam ransel besar yang biasa digunakan untuk pendakian,
istilahnya itu tas gunung. Namun karena personil yang datang belum lengkap,
akhirnya pukul 11 kami baru berangkat.
Pukul 11 bukan awal dari
pemberangkatan kami, karena kami masih harus mempersiapkan sesuatu di rumah
salah salah satu sahabat kami. Persiapan mulai dari isi perut sampai yang
berkaitan dengan dokumentasi nanti. Akhirnya pukul 2 siang lebih, kami resmi
berangkat dengan disertai doa yang sudah kami kumpulkan masing-masing.
Perjalanan biasa saja, tidak ada
yang begitu spesial. Sama seperti perjalanan nge-trip yang sudah-sudah. Mungkin yang berbeda adalah personil dan
tujuan kemana perjalanan ini akan memberikan sebuah makna tersendiri bagi
masing-masing dari kami.
Untuk yang tidak ikut serta dalam
perjalanan monumental ini, bagi saya pribadi, saya selalu ucapkan terimakasih
untuk rasa sayang lewat doa, harapan hidup bagi kami, dan juga atas izin untuk
perjalanan yang belum tentu bisa saya lakukan lagi. Entah itu dari sahabat-sahabat
saya, keluarga, atau mungkin yang lain.
Before
the possibilities came true
I
took all possibilities from you —
Hampir sampai disana kami disambut oleh hujan.
Tidak terlalu deras, namun jika memaksa untuk tetap melawan, pastilah basah.
Satu-satunya opsi, kami memilih masjid menjadi temapat untuk menghindari
kebasahan hujan sekaligus sholat.
Walaupun
saya yakin diantara kami sangat menyukai hujan, namun pastilah mereka tidak
akan mau kedinginan oleh hujan, kecuali mereka yang memang rindu dibelai,
didekap, diberi ketenangan oleh hujan. Karena hakikatnya, siapapun tak pernah
ingin terlalu lelap dan tersakiti oleh rasa cintanya, tak pernah ingin basah
oleh air mata karena perasaan nyaman atau sukanya. Termasuk oleh hujan.
Setelah
hujan tak terlalu mengganggu perjalanan kami, tak sampai satu jam kami sampai
di camp lereng gunung. Tekad telah kami siapkan dari rumah
telah terkumpul penuh untuk mendaki malam itu. Maximum.
Lantas,
karena ada yang memang sedang haid dan oleh si petugas gunung kami diberi arahan
mengenai peraturan-peraturan keselamatan, maka kami memutuskan untuk menginap
barang semalam di camp lereng gunung. Dan rencananya besok pagi kami akan
mulai menapak.
It goes on and on and on
I can keep you looking young and
preserved forever —
Pagi hari akhirnya masih mau membentangkan fajar
untuk kami. Setelah semalam kami semua bergulat dengan rasa dingin. Dan
akhirnya sekali lagi, saya merelakan beberapa bekal sarung yang saya bawa untuk
mereka yang merasa kedinginan. Dan saya hanya memakai kaos+jaket, celana
panjang tanpa kaos kaki, dan sarung tangan. Sudah.
Entah
hanya saya saja yang merasa atau tidak, kalau semalam tidak pernah bisa
memejamkan mata barang lima menit istilahnya. Karena sibuk mengatur napas untuk
menghangatkan diri masing-masing, mengatur denyut darah agar kami tidak terkena
hipo istilahnya. (baca: Hipotermia).
Smiling right from ear to ear
Almost laughed herself to tears —
Personil sudah bangun semua, perlengkapan diri
maupun untuk mendaki sudah siap sedia semua, walaupun ala kadarnya. Lebih
tepatnya apa adanya. Hanya pendaki amatiran.
Kami
berkumpul, melingkar, mengolah niat, berdoa lirih, memanjatkan puji-puja,
mengharapkan keadaan paling baik bagi kami masing-masing nanti, serta
pengharapan lain yang kami semogakan untuk tetap dijaga oleh Tuhan pemilik alam
atas keselamatan.
Berdoa
selesai dengan niat yang saya anggap sudah sempurna, entah menurut Tuhan.
Kami
akhirnya memulai perjalanan yang kami semua ingin lakukan semenjak dulu.
Setapak demi sejalan, kami mencoba
menikmati kersik burung yang entah sedang mendiskusikan apa. Atau barangkali
sedang beradu berita gosip tentang burung lain, atau bahkan terhadap kami.
Kami
sibuk menikmati langkah kami masing-masing, sampai hanya bergurau
terkadang-kadang. Sampai saya harus berkorban lagi untuk menggantikan
menggendong ransel milik ketua koordinator kami yang tiba-tiba masuk angin
karena tadi malam memaksa untuk tidak makan.
Perjalanan
serasa amat jauh, karena memang kami sedang menanti pos satu atau terlalu
bernafsu untuk segera mencapai puncak. Tapi, kami menikmati perjalanan dengan
tetap bergurau, bertukar lelucon agar tidak spaneng
istilahnya. Karena kami di dalam hutan.
Eyes over easy
Eat it, eat it, eat it —
Pos I. Akhirnya perjalanan kami sampai pada interval yang pertama. Ini
penghubung kami pada puncak dengan hujan yang menyambut kami. Di pos I ini kami menyiapkan sarapan ala anak
kos-kosan pada waktu kantong menipis. Mie instan.
Setelah
berfoto-foto dalam balutan rimba yang belum kami kenal sebelumya, kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Karena target, kami harus mendapatkan sunset yang tidak di tanah anarki.
Saya
rasa mulai dari sini tidak perlu ada penjelasan cerita perjalanan kami untuk
sampai puncak dengan melewati pos II sampai pada pos terakhir, yakni V.
Pada
hampir pos V. Kami sudah dikepung oleh kabut yang beranjak naik ke puncak
gunung. Dingin mulai hadir kembali, senja pun sudah gelap oleh malam. Dan
beberapa kilometer di sebelah kami, kilat dengan asyik menyambar, berdansa
dengan awan.
Akhirnya
kami memutuskan untuk menginap di warung lereng puncak, karena hanya tinggal
beberpa jengkal langkah kami sudah sampai di puncak. Kami memutuskan untuk
menginap di warung lereng puncak karena kami tidak mau terjebak oleh badai
ketika kami berada di puncak.
Warung
itu masih sangat kami ingat sampai sekarang. Warung “Mbok Yem”. Dan
mungkin, inilah warung tertinggi di Indonesia, artinya warung dengan tempat
paling tinggi yang ada di Indnonesia.
“Mbok
Yem” adalah salah satu sensasi, pesona tersendiri bagi Lawu, juga bagi kami.
Karena disana kami masih sempat menikmati nasi pecel, yang mungkin katanya khas
Jawa Timur.
Waktu
masih menunjukkan pukul 7 malam, namun kammi memutuskan untuk beristirahat
setelah 12 jam perjalanan mendaki. Walaupun jarak lereng dengan puncak hanya
3,2 kilometer. Cukup dekat dan cepat jika kita mencoba dengan medan datar,
seperti jalan yang beraspal, dan mungkin hanya butuh waktu sekitar 2 jam saja. Dan
sisa 10 jam untuk istirahat.
Mungkin
inilah yang dinamakan ujian dalam persahabatan. Kamu harus rela memberi, rela
berbagi, rela menderita, demi sahabat.
Jangan
terlalu di dramatisir. Akan saya jelaskan maksudnya. Pada malam di lereng
puncak itu, saya kembali harus merelakan beberapa sarung untuk sahabat-sahabat
saya ini. Ini bukan sebuah gerutu setan, namun sebuah rasa kebanggan tersendiri
karena saya masih bermanfaat. Lebih tepatnya dimanfaatkan.
I gotta make up for what I’ve
done
‘Cause I was all up in piece of
heaven
While you burned in hell no peace
forever —
Fajar akhirnya membuka mata kami bersama dingin.
Dengan meninggalkan peralatan dan barang bawaan, kami mulai mendaki lereng
puncak pada semburat fajar yang membentang sepanjang langit Utara-Selatan.
Kalau
meminjam lagu dari Cak Nun dan Kiai Kanjeng-nya, adalah lagu “Bangbang
Wetan” akan menjadi daftar putar paling atas. Karena dalam lagu itu diceritakan
bagaimana keadaan hari yang mulai pagi dengan bentangan fajar.
Kuning-senja-keemasan, membentang, menyemburatkan kenangan bersama decit burung
yang saling bertukar ocehan. Kala pagi itu. Di Lawu.
Kami
bergegas karena kami memburu sunrise di puncak gunung. Semua memntingkan ego
masing-masing untuk bisa sampai di puncak lebih dahulu dan menikmati sunrise mereka.
Akhirnya,
kami sampai di puncak Lawu. “Hargo Dumilah” tegak membentang, menerima
kaki-kaki kami untuk menikmati gambaran matahari yang terbit dari bawah
padatnya awan. Memecah putih awan dengan semburat sinarnya, membungkus beberapa
harapan manusia yang berada di atas gunung menanti hadirnya.
Matahari
terbit itu pesona. Menerobos barisan awan itu sempurna. Seperti gambar anak SD
ketika disuruh untuk menggambar pemandangan, maka gambar matahari terbit di
antara himpitan gunung adalah hal yang pasti.
Dan gambar seperti itulah yang akhirnya saya saksikan sebagai bagian
dari imajinasi seluruh anak Indonesia, termasuk saya.
“Serpihan
dari Surga”. Bagitu saya menyebutnya. Karena memang ketika hampir di puncak
gunung sampai dengan berada di puncak, saya merasa tidak ada nikmat Tuhan saya
yang perlu saya dustakan, yang perlu saya ragukan.
“Serpihan
dari Surga” sungguh menawan, pesona. Dan saya kira tidak ada yang seindah
matahari dibalik-diatas awan.
Bukan
hanya kami yang sedang asyik-khusyuk menikmati panorama alam Tuhan dengan
berbagai sudut foto untuk kami abadikan dalam kenangan. Ada beberapa orang,
remaja, dan bocah dari berbagai bagian dari Indonesia yang lain yang ikut
mengambil momen-momen yang mungkin tidak akan pernah dilupakan oleh mereka.
You think it’s over but it’s just
begun
But baby don’t cry —
Setelah kami puas dengan hidangan sarapan oleh alam
Tuhan. Kami bergegas turun untuk segera pulang membawa kenangan.
Perjalanan
menurun melewati jejak-jejak yang kami tinggalkan, kami langkahkan telapak
untuk sebuah harapan baru yang kami bawa pulang, sebuah cerita yang akan kami
bagikan kepada teman sejawat, keluarga, atau bahkan kepada anak-anak kami suatu
nanti. Bahwa Lawu pernah menjadi saksi bahwa kami takjub, merasa hina, rendah,
kerdil, di hadapan alam serta dalam genggaman Tuhan.
Sampai
kalian membaca cerita ini, aku harap kalian juga menikmati beberapa penggal
lirik yang saya hidangkan. Judulnya “A Little Piece of Heaven” milik
band Amerika Avenged Sevenfold. Sebenarnya secara makna total, tidaklah
ada kaitannya, namun saya paksakan untuk meyatukan.
Dari
Lawu, saya belajar beberapa hal pada permenungan beberapa waktu yang lalu.
Bahwa, hidup tak melulu harus terus bersinggungan dengan materi untuk
tersenyum. Bahwa sahabat, yang menjadi bagian lain dari diri kita ini, yang
dipertemukan oleh Tuhan sebagai bagian dari takdir jodoh, yang menjadi teman
hidup kita.
Kemudian,
bahwa jodoh itu bukanlah harus mengenai seorang pasangan hidup. Namun, juga
tentang teman dalam hidup. Merekalah sahabat. Keluarga kedua yang ketika kamu
berada di luar rumah dan sedang butuh keteduhan.
Juga
mengenai hujan. Hujan pun tak pernah mau menyakiti, membuat dingin, namun di
terlalu takut untuk bernego dengan Tuhan untuk tidak membuat yang menyukainya
merasa tersakiti.
Jika
ada yang bilang menyukai hujan, dan lantas memilih untuk memakai payung karea
takut basah karena hujan. Maka maksudnya adalah mereka tidak amau tersakiti
oleh hujan. Karena siapapun, tidak akan pernah mau tersakiti karena rasa
cintanya. Termasuk oleh hujan.
Let’s make a new start
‘Cause everybody gotta die
sometimes
But baby don’t cry
You have my heart —
Ditulis pada 12 September 2016, setelah pulang dari
alam Tuhan. Dan dilanjutkan untuk diselesaikan pada 9 April 2017, karena sibuk
dengan durasi waktu yang penuh. Tuban.
0 Respon:
Posting Komentar