“ Jika kita sudah tidak bisa lagi berharap pada sistem pendidikan, maka kita bisa berangkat dari subjek pendidikan tersebut, yaitu anak didik “.
- Sabrang “Noe” Letto
Sebelum terlanjur
jauh akan lebih sopan jika saya meminta maaf kepada sahabat “pembaca”, karena
mungkin saja akan tercipta konotasi “kotor” di dalam pikiran sahabat sekalian.
Sekali lagi saya minta maaf. Dan mungkin akan saya buat sedikit pendahuluan
agar pikiran-pikiran sahabat tidak langsung berhaluan negatif. Ini positif.
Ini dimulai pada
suatu waktu pagi yang sedikit mendung, saya sedang asyik dan khusyu’
sendiri membaca buku tulisan Prayogi R. Saputra (PRS) judulnya “Spiritual
Journey – Pemikiran dan Permenungan Emha Ainin Nadjib”. Namun ini bukan
sebuah tulisan resensi atas buku tersebut, bukan sahabat. Di dalam buku
tersebut ada sebuah tulisan dengan judul “Pendidikan Reproduksi”. Tapi
jangan langsung beranggapan bahwa ini sebuah tulisan dengan motif dan label
18+, melainkan ini hanya sebuah tulisan yang ditulis oleh PRS dengan
menyampaikan argumen-argumen dan buah pikir dari Sabrang dan sang ayah Emha.
Singkatnya,
“Pendidikan Reproduksi” hanyalah sebuah hasil refleksi terhadap keadaan
pendidikan di Indonesia dengan analogi reproduksi aseksual dan seksual. Mungkin
sampai disini tidak perlu saya jelaskan lebih jauh tentang apa itu aseksual
maupun seksual, karena tulisan ini tertulis bukan semata untuk membahas sistem
reproduksi tersebut, itu sudah jadi materi diskusi ayah dan anak itu. Skip>>
Pendidikan
Indonesia waktu ini selalu berubah pada setiap kurikulum yang diajarkan.
Mungkin dulu pada zaman saya masih sekolah, saya sempat mendapatkan buku ajar
dengan acuan kurikulum 1999, 2000, 2006, sampai 2012. Dan dewasa ini pada
kisaran dua tahun terakhir pendidikan Indonesia mulai melahirkan format
kurikulum teranyar yaitu K-13 atau Kurikulum 2013, meskipun
“katanya” tidak semua sekolah menerapkan acuan K-13 ini.
Ketika sedang Booming
dan gencarnya wacana ini, beberapa elemen masyarakat mulai menyuarakan
pendapat dan gagasan terkait K-13 yang menurut isu yang berkembang adalah
sistem ajar yang bisa merubah pola pikir anak, dari yang siswa (dulu) hanya
duduk mendengarkan, sekarang malah jadi guru yang mendengarkan. Ini hanya
sedikit perumpamaan. Dari sini saya jadi teringat sebuah tulisan yang sempat
saya baca di suatu koran bahwa “Pendidikan di Indonesia itu setiap ganti Menteri,
ganti kurikulum”.
Jika sahabat adalah
seorang pembaca yang selalu berpikir positif, kalimat semacam itu tentu akan
tersikapi sebagai sebuah tindakan yang sangat penting dan berguna, karena
dengan begitu Menteri pendidikan Indonesia selalu aktif berbenah dan berpikir
untuk sebuah sistem pendidikan yang memang tepat untuk anak didik Indonesia.
Namun perlu disadari lebih jauh juga bahwa dengan terus bergantinya sistem
pendidikan, apakah suatu ketika nanti tidak berpengaruh terhadap pola pikir si
anak? Atau memang tujuan dari terus bergantinya sistem adalah berubahnya suatu
pola pikir? Entahlah.
Pernyataan di
koran tersebut mungkinlah memang benar, ini subjektifitas saya yang
membenarkan. Karena, dari yang penulis ketahui pergantian Menteri di Indonesia
selalu dibarengi dengan bergantinya sistem ajar kurikulum. Kurikulum 2012 yang
(dulu) dianggap temuan paling mutakhir pun harus tergerus laju gagasan K-13.
Diakhir tulisan
opini koran tersebut terselip kalimat yang mungkin bisa dijadikan sebuah
“dalil” untuk terus berijtihad dalam membangun pendidikan Indonesia yang
benar-benar mendidik. Kalau tidak salah kalimatnya adalah seperti ini; “Kita
itu tidak butuh sekolah, tidak butuh yang namanya kurikulum. Namun, yang kita
butuhkan adalah belajar”. Sampai kemudian di pojok kanan bawah
tersemat nama M. Daniel Rasyid selaku empu tulisan ini.
Namun, formalitas
pendidikan bagi masyarakat umum amatlah menjadi acuan. Akhirnya sekolah pun
menjadi sebuah tempat yang “konon” dipercaya masyarakat Indonesia “mayoritas”
sebagai tempat yang memang untuk belajar. Kenapa saya bilang “mayoritas” karena
ada sebuah institusi yang membuat terobosan pendidikan non-formal dengan hanya
berbasis komunitas belajar. Dengan contoh yang secara kasuistik saya
pernah berkunjung, kemudian ikut belajar bersama mereka. Skip>>
Seringkali yang
menjadi topik pembahasan masyarakat adalah “Sekolah itu ya mesti belajar, kalu tidak
sekolah ya tidak belajar”. Ini pemikiran primitif. “Lho, kenapa primitif?”
Sebentar sahabat.
Secara sederhana
dan menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat kaum primitif adalah sebuah
keadaan kaum yang belum maju, anti kemapanan, tidak bisa baca tulis, bahkan
berbicara pun harus menggunakan isyarat. Ini sama halnya dengan masyarakat
sekarang yang tidak bisa membaca sejarah, atau mungkin malah tidak mau membaca
sejarah. Maksudnya?
Sahabat pembaca
sekalian pasti pernah mendengar nama-nama tokoh ini; Steve Jobs, Thomas Alfa
Edison, Albert Einstein, Michael Faraday, dll.. Nama-nama tersebut adalah
sederet nama anak manusia paling fenomenal bagi yang mau membaca sejarah hidup
mereka. Mereka dianggap anak bodoh di sekolah formal mereka dengan suatu
penyakit Disleksia dan harus di D.O. oleh sekolah, bahkan
ada yang tidak sekolah formal.
Namun, di tahun
milenium ini nama-nama mereka berhasil terukir dan tercatat dalam pikiran dan
ingatan manusia akademisi dan kaum intelek dengan buah karya mereka. Bahkan ada
yang mendapatkan gelar manusia tercerdas sepanjang masa. Ini mungkinlah sedikit
dari sekian banyak contoh yang bisa dijadikan sebuah bahan permenungan bahwa
sebenarnya sekolah itu tidak penting, yang terpenting adalah semangat belajar
yang terus terpompa.
Akhirnya sekolah
formal di Indonesia menugaskan Ujian Nasional sebagai penjaga paling ujung
untuk hal kelulusan siswa. Dan sekolah hanya akan menghasilkan anak-anak
yang pintar dan memenangi olimpiade, bukan seorang anak didik yang yang kritis
dan analitis. Ini teori Sabrang. Menurut anak dari Emha Ainun Nadjib ini,
ada dua tipe anak yang seharusnya mulai dimengerti oleh para orangtua, yaitu
anak yang perlu sekolah, dan ada yang tidak.
Bagi para
orangtua yang memang berpikir bahwa anaknya perlu dididik dengan sistem yang
mengharuskan ketepatan waktu dan perilaku moral, sekolah bisa menjadi tempat
yang cocok, karena sekolah selalu mengharuskan anak didiknya untuk selalu taat
aturan, tepat waktu, dan berperilaku moral baik. Ini teori pendidikan
reproduksi yang aseksual.
Berbeda dengan
anak yang memang selalu aktif, selalu berpikir, dan selalu ingin tahu, maka
sekolah akan jadi seperti tempat yang sangat membosankan, karena beberapa anak
dengan tipe ini sangat tidak suka terikat, namun suka perkembangan. Sistem yang
cocok dengan anak tipe ini adalah dengan memberikan sebuah kasuistis, bukan
hanya sebuah dalil-dalil yang tidak jelas. Inilah sistem pendidikan reproduksi
seksual menurut Sabrang.
Di dalam buku
yang sama Emha Ainun Nadjib pun berujar bahwa “Anak itu adalah sebuah
titipan Allah. Kita tidak bisa menentukan akan jadi seperti apa anak kita.
Tugas kita hanya menggiring dan mengikuti akan jadi apa anak kita”.
Sekarang jika
kita melihat tiga argumen dari orang yang berbeda namun intinya sama tentang
bagaimana keadaan pendidikan Indonesia ini maka saya (perspektif pribadi) simpulkan
bahwa pendidikan Indonesia itu lemah sayhwat, menurut mata tiga orang diatas,
yaitu pendidikan yang tidak punya daya seksual, kurang bertenaga dalam
menjalankan sistem pendidikan yang memang mengutamakan esensi dan eksistensi
dari pendidikan tersebut, yaitu anak didik, seperti yang diutarakan oleh
Sabrang.
Sampai di akhir
kalimat, semoga kedepannya akan banyak lagi sistem pendidikan yang tidak men-dewa-kan
kurikulum sebagai bahan acuan dalam mengajar dan mendidik, seperti lahir dan
hadirnya sebuah komunitas belajar yang memang mengutamakan kualitas
hidup anak-anak dan pemuda Indonesia. aamiin.
Salam -
0 Respon:
Posting Komentar